Langsung ke konten utama

Balaghah Membungkam Taufik Ismail

Taufik Ismail, seorang penyair yang telah melahirkan bait-bait sastra yang tersebar disetiap pojok nusantara itu tengah dikabarkan telah menyebut lagu Bagimu Negeri sebagai lagu sesat, baca: http://m.liputan6.com/news/read/2839996/penyair-taufik-ismail-sebut-lagu-bagimu-negeri-sesat?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter

Saya tak mengerti kenapa seorang penyair sekelas beliau begitu lemah dalam hanya memaknai 4 bait lagu yang selalu didendangkan oleh bocah-bocah polos disekolah-sekolah itu. Ratusan bahkan ribuan baitnya yang sempat membuat saya kagum, kini luntur hanya karena kelemahan dalam memaknai 4 bait.

Problem seperti ini sebenarnya juga dapat menjadi cermin bagi mereka yang sering menyuarakan 'kembali kepada alquran dan hadits' (dengan menafikan ijma dan qiyas), sebab Al-quran -khususnya- telah menyimpan kalimat-kalimat sastra yang bernilai sangat luhur, karenanya sangat mustahil memahaminya dengan tanpa menimbang / mengkaji qaul-qaul ulama. Sebab tidak semua lafadz atau kalimat menyimpan makna yang sesuai dengan keadaan kalimat itu sendiri, karena kadang sebuah kalimat menyimpan nuktah (rahasia) yang mengindikatorkan terhadap pembelokan makna aslinya sehingga tidak tekstual. Maka dari itu perlu dilakukan diskursus yang secara mendalam ketika menyelami makna sebuah kalimat. Syaikh Abdul Qahir Al-jurnani, salah satu ulama Balaghah yang datang untuk menjawab kebutuhan umat dengan mencetuskan suatu ilmu yang memiliki fungsi,
ما يحترز به عن الخطاء في تأدية المعنى الذي يريده المتكلم لايصاله إلى ذهن السامع.
Menjaga kesalahan dari sami' didalam memaknai apa-apa yang sebenarnya dimaksud oleh mutakallim.
//Ja'alnallahu min ahlihi

Maka pada kesempatan kali ini mari kita membahas lirik lagu Bagimu Negeri dengan menggunakan kacamata Balaghah (sastra). Dalam hal ini, kita dapat memposisikan Kusbini sang pencipta lagu bagimu negeri sebagai mutakallim dan Taufik Ismail sang pemakna lagu bagimu negeri sebagai sami'.

Pertama, perlu kita pahami bahwa seorang mutakallim ketika dalam menyampaikan sesuatu, kadang ia menyertai metode untuk memadukan makna dan lafadz agar menjadi indah dan kokoh. Maka ada beberapa unsur yang berkaitan dengan hal ini, diantaranya :
1. Halul khitob (motif mutakalim dalam menyampaikan)
2. Muqtadlo (bentuk penyampaiannya mutakallim)
3. Mutobiqotu li muqtadlil maqam (pengsingkronan situasi)

Kedua, dengan melihat penggunaan lafadz dan makna yang dikehendaki didalam sebuah susunan kalimat dapat dibagi menjadi 3 :
1. Musawah (porsi antara lafadz dan makna sesuai)
2. Ijaz (porsi lafadz yang sedikit namun menyimpan makna yang luas), -ini yang nanti akan kita bahas-
3. Ithnab (porsi lafadz lebih banyak ketimbang makna)

Ketika, ditinjau dari segi gaya pengungkapan ada 3 klasifikasi :
1. Tasybih
2. Majaz -ini yang nanti akan kita bahas-
3. Kinayah

Lirik yang dipermasalahkan oleh Taufik Ismail sendiri ialah pada kalimat 'bagimu negeri jiwa raga kami', ia menilai bahwa kalimat tersebut mengandung unsur sesat, bahkan musyrik dengan alasan karena jiwa raga ini hanya milik Allah. Namun kesimpulan yang ditarik olehnya ini sungguh tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh mutakallim. Sebab seperti halnya dalam memaknai ayat (dengan mentah-mentah),
ليس كمثله شيء
Akan memunculkan arti tekstual 'Tidak ada seperti yang menyerupai Allah' -berarti ada yang menyerupai Allah-, dengan kata lain ketika slogan kembali kepada Al-quran yang diatas kita pakai -tanpa menimbang ijma' dan qiyas- secara tidak sadar label musyrik telah menempel didiri kita sendiri. Padahal makna yang diharapkan dari ayat tersebut bukanlah demikian. Ini juga yang terjadi pada penggalan kalimat 'bagimu negeri jiwa raga kami'.

Jika kita ubah penggalan lirik tersebut kedalam bahasa Arab akan tergambar kalimat,
لك -يا للوطن- نفسنا
yang mana disana sebuah musnad didahulukan dari musnad ilaihnya. Disini setidaknya ada beberapa Halul Khitob (motif mutakallim dalam menyampaikan) ketika musnad (لك) didahulukan dari musnad ilaih (نفسنا), salah satunya ialah ta'ajjub (rasa kagum). Dan mungkin ini yang dirasakan Kusbini saat menuliskan lirik lagu padamu negeri ini.

Kemudian dari segi muqtadlo (bentuk penyampaiannya mutakallim) sendiri, Kusbini lebih memilih untuk menggunakan Ijaz (porsi lafadz yang sedikit namun menyimpan makna yang luas). Dan ini yang lebih proporsional kita pakai dalam memaknai lirik 'bagimu negeri jiwa raga kami'. Contoh pada ayat,
ولكم في القصاص حياة
Ketika kita maknai secara tekstual tanpa pendekatan ijaz atau dengan makna mentah, akan menimbulkan kerancuan. Karena secara hakikat, baik ayat tersebut maupun lirik yang ditulis Kusbini itu mengandung makna yang sangat luas (walaupun secara lafadz ringkas), seperti menyiratkan semangat untuk mengorbankan apa saja demi negerinya, baik itu mengorbankan jiwa dan raga. Dan demikianlah pengorbanan yang dicontohkan para pahlawan bangsa. Mereka berguguran demi memperjuangkan kepentingan dan kemerdekaan negerinya tanpa mengharapkan bisa menikmati hasil perjuangannya itu. Dan ini dilakukan hanya semata-mata untuk generasi dibawahnya. Bukankan rasa peduli dan simpati untuk tolong menolong adalah perintah yang dianjurkan oleh Allah,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىِٰ ... ؟؟؟

Disamping itu, negara ini adalah hak kita semua selaku warga Indonesia. Jika mati hanya dalam mempertahankan harta sebab hak dapat digolongkan ke dalam mati syahid, apalagi mereka para pahlawan yang rela mengorbankan nyawanya demi negara yang tak hanya sekedar sebuah harta ?!

Kemudian jika kita gunakan unsur majaz pada lirik 'bagimu negeri jiwa raga kami' sekalipun itu tak ada masalah.

Majaz yang bisa disebut juga pembelokkan makna, berkaitan dengan beberapa hal, diantaranya: hakikat (penetapan makna asal), alaqoh (hubungan antara makna majaz dengan makna hakikat), serta qarinah (indikator). Sedangkan lirik 'bagimu negeri jiwa raga kami' termasuk dalam kategori majaz mursal tasmiyatul juz bi ismi kulli. Sederhananya, sebuah kata dapat dikategorikan sebagai majaz ini ketika mutakallim menyebut sebuah kata yang bermakna kull (komprehensif) namun yang dikehendaki ialah hanya makna juz (eksklusif). Contoh surat Al-baqarah ayat 19,
وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ
pada lafadz أصابعهم terdapat alaqoh kulliyah (komprehensif) yang berarti jari-jari. Namun yang dikehendaki hanya makna juz'iyyah (eksklusif) yaitu satu jari. Dengan menggunakan qarinah (indikator) bahwasannya tidak mungkin memasukkan jari-jari ke dalam telinga sekaligus, yang mungkin adalah hanya memasukkan satu jari.

Pada lirik 'bagimu negeri jiwa raga kami' pun dapat kita menggunakan metode demikian. Bahwa yang dikehendaki oleh mutakallim ialah hanya makna juz'iyyah, bisa kita menggunakan makna pikiran, tenaga, dan lainnya. Yang mana bagian-bagian tersebut merupakan juz dari alaqoh kulliyyah pada kata 'jiwa raga'. Jadi jika kita gunakan majaz, dapat kita ucapkan 'pikiran kami untukmu negeri', 'tenaga kami untukmu negeri', atau lainnya.

Kesimpulannya :
Ketika memaknai lirik 'bagimu negeri jiwa raga kami' dengan metode balaghah (sastra) apapun, -jika sedikit lebih bersabar dan tidak ambisius dalam memaknai- itu tidak sama sekali mengandung kesesatan ataupun kemusyrikan.

Wallahu 'alam

*)Insyaallah selanjutnya kita akan bahas dengan pendekatan Ilmu Manthiq (logika).

- Rois Faisal .R -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah sejak 1852 M

Jawa Timur.Santrionline - Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah merupakan Pesantren yang didirikan Mbah Busyro Al Khafi yang waktu mudanya belajar selama 17 tahun di Mekah. Pendiri Pesantren ini merupakan ayahnya Mbah Soleh yang mempunyai istri yang bernasab dengan Mbah Maimoen di Pesantren Al Anwar Sarang Rembang. Pesantren ini sudah mempunyai sekolah Formal, tapi tetap menjaga tradisi baca kitab turost dengan membangun Pesantren Kidul di sebelah selatan pesantren. Kiai Abdul Azis yang ditemui suarapesantren.net pada 29 Maret 2016 mengungkapkan bahwa dirinya meneruskan memimpin Pondok Kidul yang merupakan cabang dari Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah di Beji Jenu Tuban Jawa Timur. Pesantren yang terletak di jalur Pantura Tuban ini disebelah Barat yang juga disebut sebagai Pondok Kidul atau sebelah Selatan, sedang pusatnya di sebelah Utara. Dalam bangunan klasik yang terbuat dari kayu berpilar empat itu, tertulis tahun 1852 Masehi di mana tempat itu merupakan tempat penga

Perkawinan Dimata Gus Mus

Perkawinan itu pertemuan dua hal yang berbeda sekali. Ia tidak seperti perbedaan dua hal antar suku, atau antar Negara. Kedua yang terakhir ini lebih banyak jalan menjembataninya untuk bisa damai. Tetapi perbedaan dalam perkawinan adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Relasi suami isteri dalam rumah tangga tidak selalu indah, tidak selamanya membahagiakan, tidak selama damai. Selalu saja ada masa sulit, pertengkaran, percekcokan dan seterusnya. Menyelesaikannya tidak mudah, perlu hati-hati sekali. Paling-paling hanya tiga bulan saja masa-masa indah itu. Selebihnya bergelombang-gelombang. Orang bilang bahwa perempuan itu lemah, dan laki-laki itu kuat. Ini tak sepenuhnya benar, Kita coba saja laki-laki untuk membawa beras enam kilogram secara terus menerus, berjam-jam, berhari-hari dan berbulan-bulan. Satu atau dua jam mungkin bisa, tetapi terus menerus tanpa henti?. Apakah sanggup?. Saya kira tak ada. Laki-laki, suami, biasanya mengaku cepat lelah. Ia lebih suka duduk sambil

Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Ketika Didzalimi Dibalas Dengan Menyayangi

Keterangan foto: Yang sedang naik becak adalah al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang dan al-Habib Ali bin Husein Alattas Bungur Santrionline- Suemdang, Dahulu di masa al-Habib Ali al-Habsyi Kwitang masih hidup, ada seseorang yang sangat membencinya dan orang itu tinggal di Kwitang. Kelakuan orang itu terhadap al-Habib Ali al-Habsyi sunggah tidak terpuji. Bila lewat di hadapannya dengan sengaja meludah di depan al-Habib Ali al-Habsyi, sampai-sampai membuat marah para murid al-Habib Ali al-Ha bsyi. Hingga suatu saat, al-Habib Ali al-Habsyi memberikan jatah sembako berupa beras kepada orang itu. Dengan memanggil muridnya, al-Habib Ali al-Habsyi memerintahkan agar beras itu diberikan kepada orang itu. Hal ini membuat bertanya-tanya sang murid. Namun belum sempat ditanyakan, al-Habib Ali al-Habsyi berkata: “Berikan ini, tapi jangan bilang dari saya. Bilang saja dari kamu.” Lebih dari 2 tahun orang itu menikmati jatah sembako yang diberikan al-Habib Ali al-Habsyi kepadanya melalui p