Langsung ke konten utama

OBAH ORA OWAH

“Obah Ora Owah”, Ruang Ekspresi 17 Pelukis Lesbumi Jatim

Santrionline Surabaya – Angka 17 merupakan angka yang cukup bermakna bagi kaum muslimin di Indonesia. Disamping melambangkan hari kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus, angka 17 bermakna jumlah rakaat dalam shalat lima waktu, yang dalam sehari-semalam berjumlah 17 rakaat. Bagi para seniman yang tergabung di Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU Jawa Timur, angka ini menginspirasi 17 seniman untuk hadir dengan karya dalam pameran lukisan bertajuk “Obah Ora Owah” digelar di Sofyan Inn, Hotel Grand Kalimas, Jl. KH Mas Mansur no.151, Surabaya. Pameran ini rencananya dibuka secara resmi pada Sabtu, 19 November, pukul 15.00 WIB, oleh KHM Hasan Mutawakkil 'Alallah, Ketua PWNU Jawa Timur.

Ketujuhbelas seniman yang terlibat dalam pameran "Obah Ora Owah", antara lain Andik Eko, Dian Chrisna, Edy Supriyanto, Ida Fitriyah, Lukman Hakim, Luqman Hidayat, Nabila Dewi Gayatri, Nasar Batati, Ngadiono, Nonot Sukrasmono, Ramadantil, Sigit Handari W, Slamet Riantono, Syamduro, Teddy Sumilang, Toby, dan Wadji MS.
"Pergerakan kita sebagai seniman dalam memaknai hidup, tidak terlepas dari makna kewajiban sholat kita sebagai seorang Muslim dalam Rukun Islam, kepada Sang Khaliq," tutur Nonot Sukrasmono, Ketua PW Lesbumi NU Jawa Timur, dalam sebuah rilis, Kamis (17/11/2016).

Beragam ekspresi lukisan, dipamerkan selama sebulan, berlangsung 19 November hingga 18 Desember 2016. “Ini merupakan kegiatan yang jarang dilakukan, dengan merangkum para seniman, khususnya pelukis, yang mempunyai ciri khas masing-masing. Namun, disatukan dalam satu tema ‘Obah Ora Owah’ yang berarti “bergerak tapi tidak berubah”, kata Nonot Sukrasmono.

Hal ini, menurut Nonot, bermakna sebagai daya kerja yang terus menerus dilakukan, tapi tidak mengubah identitas dan kesejatiannya. “Kita harus terus memaknai hidup dengan melakukan segala aktivitas berkesenian, yang memberikan manfaat bagi kehidupan. Namun, di tengah kita beraktivitas dan bergerak itu, kita tidak tercerabut dari identitas diri masing-masing. Dalam konteks eksistensi kesenian, ‘to be yourself’, ‘jadilah dirimu sendiri’. Kami bergerak untuk mengubah kondisi yang kurang baik menuju pada kondisi yang lebih baik,” ujar Nonot, yang juga fungsionaris Dewan Kesenian Provinsi Jawa Timur.

Selain menampilkan karya kaligrafi Arab, para seniman juga menampilkan beragam objek. Dalam memaknai tema, objek yang diangkat dalam karya-karya seniman merupakan kebebasan masing-masing. Tapi, tentang kebebasan berekspresi itu akan menemukan titik sentral pada tema “Obah Ora Owah”, yang bergerak terus dan beraktivitas. “Dengan aktivitas berkarya itu sendiri, merupakan wujud dari aktualisasi diri seorang seniman. Pameran itulah pertanggungjawaban seorang pelukis pada publiknya,” terang Nonot Sukrasmono.

(Perilis : Riadi Ngasiran.
Penyunting : Ahmad Zamroni Fauzan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Hukum-Hukum Seputar Tunangan dalam Islam

Oleh: Moh Nasirul Haq, Santrionline - "Duhai para pemuda barang siapa diantara kalian mampu membayar Mahar  maka menikahlah. karena sesungguhnya Hal itu lebih menjaga Pandangan    dan Kemaluan." (Al Hadits) Menikah merupakan sunnah nabi yang banyak didambakan oleh setiap orang. Sebab pahala orang yang menikah akan dilipat gandakan pada setiap ibadahnya. Nah, biasanya Setiap orang yang akan menikah terlebih dahulu melalui prosesi "khitbah" (pertunangan). Berikut ini merupakan beberapa hal dalam hukum islam berkaitan dengan tunangan yang saya baca dari buku karya DR Ali Ahmad Al Qulaisy Yaman. Pertanyaan    :  Apakah tunangan itu? Jawab        : Epistimologi tunangan "yaitu suatu proses dimana seorang pria mengajukan permohonan kepada pihak wanita yang di dambakan untuk menjadi calon istrinya kelak. Permohonan ini diutarakan pada si wanita ataupun keluarganya." Terkadang yang bersangkutan meminta sendiri atau juga ...