Langsung ke konten utama

MENGENAL LEBIH DEKAT KH. MUHAMMAD MUHADJIRIN ULAMA BETAWI PENGARANG 34 KITAB MONUMENTAL

Masjidil Haram, Medio 1950-an.

Seorang santri asal Malaysia menawarkan posisi tinggi kepada sang guru yang masih lajang untuk menjadi Mufti Malaysia. Menggiurkan ? Sayang, tidak baginya. Ia menolaknya dengan tegas. Alasanya cuma satu, ia masih betah di Tanah Suci, masih suka belajar dan mengajar di tempat yang mulia itu. Namun, tidak lama kemudian, ketika ibunya, Hj. Zuhriah meminta pulang, ia tidak bisa menampik. Ia taat dan patuh, serupa batu es yang meleleh menjadi air. Rupanya, ia menyadari tidak ada yang mampu menandingi panggilan orangtua. Dan dia adalah KH. Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary. Fragmen tersebut penulis nukil dari salah satu muridnya, KH. Fachruddin MA., yang konon pernah dikisahkan almarhum saat ta’lim selepas Shubuh di pesantren yang didirikanya, Pondok Pesantren Annida Al-Islamy Bekasi.

Memang, di Mekkah, kala itu KH. Muhammad Muhadjirin bukanlah nama asing. Ia bahkan salah satu murid kesayangan Syekh Yasin Al-Fadani, seorang ulama masyhur asal Padang, guru para ulama dari pelbagai negara, yang mendirikan Madrasah Darul Ulum di sana. Tentu saja, bukan seperti durian runtuh bila KH. Muhadjirin tiba tiba mengajar. Amanah itu ia dapatkan setelah beliau mukim dan belajar lama di sana. Terlebih, KH. Muhadjirin memiliki bekal ilmu agama mumpuni sebelum memilih Tanah Haramayn (Mekkah dan Madinah) sebagai tempat belajarnya memperdalam ilmu agama Islam. Selama belajar di Tanah Suci, selain Syekh Yasin Al-Fadhani, guru-guru KH. Muhammad Muhadjirin adalah Syekh Muhammad Ahyad (pengajar di Masjidil Haram kala itu), Syekh Hasan Muhammad al-Masyyath, Syekh Zaini Bawean, Syekh Muhammad Ali bin Husain Al-Maliki, Syekh Mukhtar, Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Syekh Ibrahim Fathani, Syekh Muhammad Amin Al-Khutbi, dan lain-lainya.

Konon,  sebelum menuntut ilmu di Mekkah, KH. Muhadjirin yang lahir di Kampung Baru Cakung, Jakarta Timur pada 10 November 1924 ini sudah mempelajari pelbagai ilmu agama, Al-Quran, Hadits, Tauhid, Nahwu, Sharaf, Ushul Fiqih, Fiqih, Balaghah, Falak, Mantiq, Arudh, Tashawuf  dan sebagainya kepada ulama-ulama Betawi dan Banten. Guru-guru beliau antara lain, Guru Asmat, H.Mukhoyyar, H.Ahmad, KH.Hasbialloh, H.Anwar, H.Hasan Murtaha, Syekh Muhammad Thohir, Syekh Ahmad bin Muhammad, KH.Sholeh Makmun, Syekh Abdul Majid, Sayyid Ali bin Abdurrahman al Habsyi dan lain sebagainya. Di antara sekian banyak guru tersebut yang paling mempengaruhi pola pikirnya adalah Syekh Muhammad Thohir, menantu dari Syekh Marzuki (Guru Marzuki), seorang ulama karismatik yang memiliki banyak murid dan pengikut. Kepada duo mertua dan menantu itu, ia mulai memahami ilmu-ilmu agama. Hal ini dapat diketahui dengan seringnya kedua nama tersebut dijadikan rujukan oleh KH.Muhammad Muhadjirin saat memberikan penjelasan kepada murid-muridnya. Guru lainnya yang kerapkali disebut dalam penjelasan ta’lim-nya  adalah Syekh Abdul Majid (Guru Majid) Pekojan.

Menuntut ilmu, bagi kyai yang akrab dipangil Kyai Jirin ini, seperti sudah mendarah daging dalam tubuhnya. Tidak bisa dipisahkan. Hal ini tampak sebagaimana termaktub dalam manaqib singkat yang penulis peroleh dari putranya, KH. Dhiyaz Muhajirin dan KH. M. Aiz Muhajirin,  bahwa beliau bersetia melakoni mengayuh sepeda dari Kampung Baru menuju majelis-majelis ilmu para gurunya. Putra H. Amsar, seorang pedagang telor di Mester (Pasar) Jatinegara, ini tidak gentar dengan segenap rintangan yang menghalangi jalannya. Suatu kali, misalnya, ia pernah dihadang seekor buaya saat hendak menyeberangi sungai (kali) Cipinang untuk menuntut ilmu. Namun, dengan kebesaran hati dan kemantapan tekad, rintangan tersebut pupus. Spirit thalabul’ilmi-nya tidak lemah hanya karena seekor hewan buas.

Sebagai ulama asli Betawi, KH. Muhadjirin populer menguasai sejumlah ilmu agama,. Nahwu, Fiqih, Hadits, Falak (Astronomi), hingga Tafsir.  Hal ini bisa dilihat dari karya-karyanya yang berjumlah 34.
Rincianya sebagai berikut :
Ilmu Lughah (6 kitab), Balaghah ( 2 kitab), Tauhid ( 2 kitab), Ushul Fiqh ( 7 kitab), Ushul Hadits ( 3 kitab), Mantiq (2 kitab), Faraidh (1 kitab), Tarikh ( 4 kitab ), Qowaidh Fiqh ( 1 kitab ), Ushul Tafsir ( 2 kitab), Adab al-Bahats ( 1 kitab ), Wadha’ ( 1 kitab ), Fiqh hadits (1 kitab), Tasawuf (1 kitab).

Istimewanya, karya-karya itu semua ditulis dalam bahasa Arab. Semula, ia menulisnya demi kepentingan mengajar santri-santrinya. Namun kini, kitab-kitab itu ada yang dipakai di pelbagai pesantren murid-muridnnya yang rata-rata ulama disegani di daerah masing-masing. Bahkan, salah satu buah penanya yang boleh jadi masterpiece-nya, Kitab Misbahzhulam (Syarah Bulughul Maram) sebanyak 4 jilid sudah diterbitkan secara komersil di Penerbit Darul Hadits. Sayang, hingga kini, tidak ada riwayat ihwal proses produktif dan kreatifnya tersebut.

Berkat keikhalasannya belajar dan mengajar, banyak murid-muridnya yang menjadi ulama. Untuk menyebutkan beberapa nama, KH. Mahfuzh Asirun (Mudir Ponpes Al-Itqon), KH. Syarifuddin Abdul Ghani MA (Mudir Ponpes Al-Hidayah), alm. KH. Alawi Zein, KH. Kamal Yusuf, KH. Zamakhsari dan lain-lainya. Barangkali, ini yang disebut keberkahan sejati, bermanfaat dengan kelipatan faedah yang tak pernah kering hingga kini, bahkan hingga Hari Akhir kelak.

Kyai Bersahaja dan Demokratis
Kyai yang menikahi putri KH. Abdurrahman Shodri, Hj. Hannah, dan dianugerahi Allah 4 putra dan 4 putri ini populer dengan sikap bersahajanya. Hal ini tampak dari gaya berbusannya sehari-hari yang tidak ingin tampil “mencolok” sebagaimana lazimnya ustadz-ustadz. Bahkan, boleh dibilang, ia terkesan ”slebor” dalam berpakaian untuk ukuran seorang ulama yang telah diakui eksistensinya. Agaknya, kesederhanaan dan kebersahajaan itu justru menjadi ”daya tarik” atau kekhasan sosok KH. Muhammad Muhadjirin. Cara KH. Muhadjirin mendidik anak-anaknya pun tidak otoriter. Beliau, misalnya, sebagaimana diungkap putra sulungnya, KH. Ihsan Muhajirin, tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk memilih bidang pendidikan yang harus sama dengan ayahnya. Ia sepenuhnya membebaskan pada minat dan kemauan sang anak.

Sementara dalam urusan politik, ia tidak tergiur sama sekali. Dalam gegap gempita politik di masa Orde Lama, misalnya, ia sebetulnya memiliki kans besar bergabung dalam Partai Masyumi, tapi ia memilih netral. Pasalnya, kala itu, Partai Masyumi dan Partai NU pasca pemilu 1955 adalah sarana atau kendaraan politik yang strategis bagi sebagian ulama. Khusus di Bekasi saat itu, hampir menjadi basis utama dari Partai Masyumi. Bahkan mertua dari KH.Muhammad Muhadjirin, yakni KH.Abdurrahman bin Shodri merupakan salah satu petinggi Partai Masyumi di Bekasi. Istri KH.Muhammad Muhadjirin sendiri pun adalah kader muda Partai Masyumi di zaman itu. Meski demikian,  tidak lantas KH.Muhammad Muhadjirin terbawa arus untuk berpartai. Keinginannya lebih pada  jalur netral, tanpa harus terkotak-kotak dalam kelompok tertentu. Dalam keyakinannya yang sering terungkap, baik langsung maupun tidak langsung, dalam kesempatan pengajian, KH Muhadjirin kerap menyatakan independensi ulama sangatlah penting dalam melihat sebuah masalah atau fenomena masyarakat.  Atau dalam bahasa KH. Ihsan, “Kecintaan beliau lebih pada mengajar dan menulis. Menurutnya, politik hanya akan menjauhkan almarhum dari kedua hal tersebut.”

Ya, saat ini ulama shaleh, produktif, dan bersahaja yang lebih memilih mengajar dan menulis seperti KH. Muhammad Muhadjirin memang sudah langka.  Kini, KH. Muhadjirin yang ‘allamah dan slebor itu sudah tiada. Beliau menghadap Ilahi pada tarikh  31 Januari 2003 dengan jejak amal tak terkira, dengan PR besar buat generasi selanjutnya, bisakah melanjutkan “jihad” ilmiahnya ?
Lahul Fatihah…

[Muaz/pelbagai sumber]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah sejak 1852 M

Jawa Timur.Santrionline - Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah merupakan Pesantren yang didirikan Mbah Busyro Al Khafi yang waktu mudanya belajar selama 17 tahun di Mekah. Pendiri Pesantren ini merupakan ayahnya Mbah Soleh yang mempunyai istri yang bernasab dengan Mbah Maimoen di Pesantren Al Anwar Sarang Rembang. Pesantren ini sudah mempunyai sekolah Formal, tapi tetap menjaga tradisi baca kitab turost dengan membangun Pesantren Kidul di sebelah selatan pesantren. Kiai Abdul Azis yang ditemui suarapesantren.net pada 29 Maret 2016 mengungkapkan bahwa dirinya meneruskan memimpin Pondok Kidul yang merupakan cabang dari Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah di Beji Jenu Tuban Jawa Timur. Pesantren yang terletak di jalur Pantura Tuban ini disebelah Barat yang juga disebut sebagai Pondok Kidul atau sebelah Selatan, sedang pusatnya di sebelah Utara. Dalam bangunan klasik yang terbuat dari kayu berpilar empat itu, tertulis tahun 1852 Masehi di mana tempat itu merupakan tempat penga

Perkawinan Dimata Gus Mus

Perkawinan itu pertemuan dua hal yang berbeda sekali. Ia tidak seperti perbedaan dua hal antar suku, atau antar Negara. Kedua yang terakhir ini lebih banyak jalan menjembataninya untuk bisa damai. Tetapi perbedaan dalam perkawinan adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Relasi suami isteri dalam rumah tangga tidak selalu indah, tidak selamanya membahagiakan, tidak selama damai. Selalu saja ada masa sulit, pertengkaran, percekcokan dan seterusnya. Menyelesaikannya tidak mudah, perlu hati-hati sekali. Paling-paling hanya tiga bulan saja masa-masa indah itu. Selebihnya bergelombang-gelombang. Orang bilang bahwa perempuan itu lemah, dan laki-laki itu kuat. Ini tak sepenuhnya benar, Kita coba saja laki-laki untuk membawa beras enam kilogram secara terus menerus, berjam-jam, berhari-hari dan berbulan-bulan. Satu atau dua jam mungkin bisa, tetapi terus menerus tanpa henti?. Apakah sanggup?. Saya kira tak ada. Laki-laki, suami, biasanya mengaku cepat lelah. Ia lebih suka duduk sambil

Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Ketika Didzalimi Dibalas Dengan Menyayangi

Keterangan foto: Yang sedang naik becak adalah al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang dan al-Habib Ali bin Husein Alattas Bungur Santrionline- Suemdang, Dahulu di masa al-Habib Ali al-Habsyi Kwitang masih hidup, ada seseorang yang sangat membencinya dan orang itu tinggal di Kwitang. Kelakuan orang itu terhadap al-Habib Ali al-Habsyi sunggah tidak terpuji. Bila lewat di hadapannya dengan sengaja meludah di depan al-Habib Ali al-Habsyi, sampai-sampai membuat marah para murid al-Habib Ali al-Ha bsyi. Hingga suatu saat, al-Habib Ali al-Habsyi memberikan jatah sembako berupa beras kepada orang itu. Dengan memanggil muridnya, al-Habib Ali al-Habsyi memerintahkan agar beras itu diberikan kepada orang itu. Hal ini membuat bertanya-tanya sang murid. Namun belum sempat ditanyakan, al-Habib Ali al-Habsyi berkata: “Berikan ini, tapi jangan bilang dari saya. Bilang saja dari kamu.” Lebih dari 2 tahun orang itu menikmati jatah sembako yang diberikan al-Habib Ali al-Habsyi kepadanya melalui p