Langsung ke konten utama

Sekaten dalam Spirit Maulid Nabi


Dalam khazanah spiritual budaya Jawa, sebuah tradisi memang memiliki akar yang sangat kuat bagi kalangan masyarakat sekitar. Bahkan, tradisi itu dianggap sebagai simbol keselamatan dan keberkatan dari Tuhan sehingga perlu dilestarikan eksistensinya. Sebagai sebuah warisan sejarah, sebuah tradisi ritual tidak bisa lepas dari kepercayaan masyarakat sebelumnya yang sudah mengenal upacara-upacara keagamaan yang bersifat mistis-religius.

Diantara sekian banyak tradisi dan budaya yang menarik dicermati adalah perayaan sekaten yang biasa digelar menjelang peringatan Maulid Nabi Muhammad. Sekaten merupakan salah satu kebudayaan yang lahir dan tumbuh berkembang atas dasar inspirasi Islam yang mengandung nilai-nilai spiritual agama. Dalam sekaten terdapat relasi positif antara aspek budaya dan agama, bahkan bisa dikatakan bahwa “akar tunjang” Sekaten itu sesungguhnya adalah agama (Asep Purnama Bahtiar, 2005). 

Genealogi Sekaten

Lalu, siapa yang sebenarnya pertama kali menggagas tradisi Sekaten di kalangan masyarakat Yogyakarta? Sejarah awal Sekaten, sebenarnya digagas oleh Walisongo dalam rangka dakwah di Pulau Jawa. Pada mulanya adalah media untuk melakukan doa tolak bala. Ketika itu, masyarakat dilanda banyak bencana, mulai dari kemarau panjang, gagal panen, wabah penyakit menular, hingga kematian ternak yang cukup banyak. Dari berbagai bencana tersebut, Walisongo sangat prihatin dan dilakukanlah berbagai usaha dalam rangka memberi ketenangan dan kesejahteraan kepada masyarakat. 

Secara historis, tradisi sekaten berkembang dari masa ke masa sampai mencapai puncaknya ketika ritus religius ini dirayakan secara berkala oleh seluruh masyarakat Yogyakarta. Bila kita bercemin pada akar kelahiran tradisi Sekaten, di situ kita akan menemukan sebuah transisi spiritual budaya Jawa yang memiliki nilai mistis. Kendati tradisi sekaten bukan merupakan warisan murni ajaran Islam, namun hal itu mengandung khazanah spiritual Jawa yang sangat fenomenal dan menakjubkan. Sebagai warisan budaya, sekaten akhirnya berkembang dengan cepat di kalangan masyarakat luas yang mencerminkan harmoni Islam dan kearifan lokal (local wisdom).

Tradisi sekaten sesungguhnya berkaitan langsung dengan masa peralihan Majapahit ke Demak yang mencoba menanamkan nilai-nilai ajaran Islam yang berbasis budaya dan menyentuh terhadap sanubari masyarakat. Pada masa peralihan ini, tradisi sekaten mulai diperkenalkan sebagai bagian dari upaya untuk mengenang kelahiran Nabi Muhammad. Tradisi sekaten pun mulai diterima dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat sebagai salah satu dari sekian tradisi lokal yang berwawasan keislaman.

Intinya, perayaan sekaten sudah ada pada zaman kerajaan Demak ketika Raden Patah menjadi rajanya. Perayaan sekaten ini dilaksanakan langsung oleh para wali pada tanggal 5-12 Rabiul awwal dengan maksud memperingati maulid Nabi Muhammad dan juga untuk menyiarkan dakwah agama Islam kepada masyarakat dengan semangat harmoni dan damai.

Filosofi Sekaten dan Spirit Maulid

Upacara Sekaten bertujuan untuk memeriahkan peringatan ulang tahun Nabi Muhammad yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud (rabiul awal tahun Hijrah) di alun-alun utara Yogyakarta (dan juga di alun-alun Surakarta secara bersamaan). Konon, nama ini merupakan hasil evolusi panjang dari kata “syahadatain”, yang kini kemudian menjadi kata sekaten. Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam. 

Sementara itu, acara puncak peringatan sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis di hari ulang tahun Nabi Muhammad. Dengan pengawalan prajurit Kraton, sebuah Gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Arakan gunungan yang berisi berbagai macam hasil pertanian menjadi simbol berkah Sultan kepada rakyatnya. 

Dalam beberapa penelitian, Gunungan pun memiliki makna filosofi yang mengandung unsur-unsur religius guna memohon keberkata kepada Tuhan. Simbol Gunungan itu menemukan makna filosofinya yang mencerminkan ketaatan rakyat kepada rajanya. Simbol Gunungan dalam tradisi sekaten bukan sekadar bermakna “pengharapan keberkatan dan kemuliaan”, namun lebih daripada itu sebagai momentum untuk merefleksikan diri atas keteladanan Nabi Muhammad yang menjadi tonggak utama pilar keislaman.

Sakaten dan Komersialisasi Perayaan

Pada upacara sakaten, biasanya diadakan pasar malam selama satu bulan lebih yang bertujuan untuk sekadar memeriahkan ritus religius itu. Kemeriahan malam sekaten, tampak sekali pada acara puncaknya yang bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad sehingga banyak warga Yogyakarta yang berbondong-bondong untuk sekadar mengikuti ritual sekaten yang sudah menjadi simbol budaya bagi masyarakat Jawa secara umum.

Tidak heran bila sekaten yang merupakan produk budaya hasil kreasi para wali figur-figur pemegang otoritas dan pengampu bidang agama pada masa lalu-memiliki substansi yang cukup kental dengan nuansa spiritual dan nilai-nilai sakral keagamaan. Tidak jarang perayaan sekaten oleh masyarakat Jawa, diidentikkan sebagai bagian integral dari ritus agama yang terbingkai dalam spirit Maulid Nabi. Maka ide dasar perayaan saketan, sesungguhnya berkaitan dengan syiar dan dakwah agama yang memuat simbol syahadatain.

Ironisnya, upacara sekaten dalam konteks kekinian mulai tergerus oleh budaya hedonis masyarakat Yogyakarta sendiri yang telah terjebak dengan komersialisasi perayaan yang tidak ada manfaatnya. Masyarakat lebih mementingkan kemeriahan pasar malamnya, daripada perenungan terhadap keteladanan Nabi Muhammad itu sendiri, sehingga nilai signifikansi dari sekaten tampak kering rohani dan spiritual. Maka, upacara sekaten setiap tahun mesti dikembalikan pada fungsinya semula, yakni dengan menekankan fungsi dakwah dan menyiarkan Islam secara damai. 

Dari tahun ke tahun, sekaten pun hanya untuk tontonan, bukan tuntunan. sekaten belum berfungsi sebagai forum yang mengutamakan aspek dakwah yang menjadi spirit dalam Maulid Nabi, melainkan hanya perayaan, hiburan dan pasar malam. Kita boleh mengatakan, bahwa kadar dakwahnya tak lebih dari 15% saja.

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Hukum-Hukum Seputar Tunangan dalam Islam

Oleh: Moh Nasirul Haq, Santrionline - "Duhai para pemuda barang siapa diantara kalian mampu membayar Mahar  maka menikahlah. karena sesungguhnya Hal itu lebih menjaga Pandangan    dan Kemaluan." (Al Hadits) Menikah merupakan sunnah nabi yang banyak didambakan oleh setiap orang. Sebab pahala orang yang menikah akan dilipat gandakan pada setiap ibadahnya. Nah, biasanya Setiap orang yang akan menikah terlebih dahulu melalui prosesi "khitbah" (pertunangan). Berikut ini merupakan beberapa hal dalam hukum islam berkaitan dengan tunangan yang saya baca dari buku karya DR Ali Ahmad Al Qulaisy Yaman. Pertanyaan    :  Apakah tunangan itu? Jawab        : Epistimologi tunangan "yaitu suatu proses dimana seorang pria mengajukan permohonan kepada pihak wanita yang di dambakan untuk menjadi calon istrinya kelak. Permohonan ini diutarakan pada si wanita ataupun keluarganya." Terkadang yang bersangkutan meminta sendiri atau juga ...