Setelah melewati polemik panjang atas terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Ormas nomor 2/2017, DPR melalui rapat paripurna, akhirnya mengesahkan PERPPU tersebut menjadi undang-undang menggantikan UU Nomor 17 Tahun 2013.
Namun tidak selesei sampai di sini. Pihak-pihak yang sedari awal menolak keras atas terbitnya PERPPU tersebut, sampai detik ini masih melakukan langkah-langkah koersif untuk menolaknya. Ujaran-ujaran yang menganggap bahwa pemerintah diktator dan anti Islam pun semakin masif mereka gaungkan dengan tanpa pemahaman yang semakin membuat mata mereka rapat tertutup.
Yang membuat kami heran, sebenarnya atas dasar apa stigma bahwa pemerintah diktator dan anti Islam sebegitu yakinnya mereka simpulkan. Sudahkan mereka mendengar bunyi dari PERPPU tersebut? Adakah point yang mengindikasikan bahwa pemerintah benar-benar anti Islam? Atau mungkinkah pemerintah yang di dominasi oleh Muslim melakukan sikap anti Islam secara terang-terangan?
Lalu bagaimana tanggapan mereka tentang Mesir yang pada tahun 1974 telah melarang Hizbut Tahrir, Suriah yang melarang pada tahun 1998, Malaysia yang pada tanggal 17 September 2015 juga turut melarang Hizbut Tahrir melakukan kegiatan di negaranya, dan beberapa banyak negara lagi yang sudah terlebih dahulu menolak Hizbut Tahrir. Beranikah mereka mengklaim bahwa negara-negara tersebut sebagai negara yang anti Islam? Atau justifikasi tersebut hanya berlaku untuk pemerintah Indonesia saja?
Mungkin pertanyaan-pertanyaan mendasar semacam ini patut untuk mereka jawab.
Kemudian juga tentang animo mereka dalam membela keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia pun menurut kami perlu untuk di pertanyakan.
Mungkin yang mereka paham hanya dari segi perspektif luarnya, bahwa Hizbut Tahrir Indonesia adalah sebuah ormas Islam. Mereka mungkin tidak akan pernah paham sejarah terbentuknya Hizbut Tahrir itu bagaimana, siapa pendiri dari Hizbut Tahrir, kapan didirikannya Hizbut Tahrir, apa visi misi dibentuknya Hizbut Tahrir, dan hal-hal lainnya yang semestinya mereka ketahui terlebih dahulu sebelum mengambil sikap tentang pergerakan Hizbut Tahrir itu sendiri.
Gejala-gejala seperti inilah yang membuat pola fikir masyarakat sulit untuk mau berkembang. Masyarakat, khususnya golongan awam yang semestinya di beri ruang untuk melihat suatu permasalahan dengan kacamata pribadi melalui kajian komprehensif, mereka paksa untuk masuk kedalam gejala ikut-ikutan. Walhasil, sikap fanatik membabi buta hingga saat ini sangat kuat tertanam di dalam karakter ikhwan akhwat yang notabenenya tidak tahu menahu apa yang selama ini mereka persoalkan.
Oleh sebab itu, seyogyanya sikap keingin tahuan untuk mencari informasi sendiri dan kritis dalam menilai sebuah permasalahan perlu kiranya mereka tanamkan sejak dini agar tidak ada lagi istilah, "katanya, katanya, dan katanya". (Rois Faisal .R)
Komentar
Posting Komentar