Langsung ke konten utama

Kyai Menguak Keberkahan Air dan Tanah (Bag. 3/Habis)

Santrionline.net ~ Delapan tahun saya dekat dengan Gus Dur. Saya punya rekaman 95 menit dengan Gus Dur, dan itu tidak dimiliki oleh yang lain. Saat itu tiba-tiba Gus Dur minta dibawakan tim media saya. Gus Dur hanya memakai celana pendek sambil tiduran di ruang tamu minta direkam. “Pak sudah siap,” kata saya.

“Ya sudah,” jawab Gus Dur.

“Mohon Bapak pakai sarung,” protesku karena tak pantaslah Gus Dur sebagai narasumber hanya memakai celana pendek.

Kata Gus Dur, “Lhoh, kan sumber utamanya Anda. Anda yang harus rapih. Saya hanya mendampingi.”

Akhirnya saya minta Mas Munif, menantunya Mbah Abdul Jalil Mustaqim, untuk mengambilkan sarung. Lalu sarung itu diberikan ke Gus Dur dan hanya ditutupkan di atas celana. 90 menit tiba-tiba Gus Dur cerita soal kuliah dan belajar beliau.

Gus Dur itu sosok pendendam yang baik. Dulu pernah saya di pesawat bersama Gus Dur, saya ijin, “Mohon maaf, Nurcholis Majid mau ke rumah saya di Jatiwangi.”

“Iya, dia mau jadi presiden. Tapi nggak mungkin,” jawab Gus Dur.

“Tapi Cak Nur bilang Pak,” kata saya. “Apa sih yang salah dengan saya? Gus Dur itu baca satu ayat dua ayat, tapi terkenal dan diaku jadi wali. Tapi saya padahal sudah menyebutkan ayat, surat, tafsir dan referensinya masih saja disalahpahami.” Kata Cak Nur yang saya tirukan.

Gus Dur hanya diam, sama sekali tidak bertanya kepada saya. Hingga kemudian saat Gus Dur bertemu saya di kediaman Tuan Guru Turmudzi Lombok NTB, beliau tiba-tiba ceramah dengan membaca 10 ayat yang panjang-panjang sekaligus menyebutkan ayat serta suratnya. Juga tiba-tiba Gus Dur membaca qasidah-qasidah dan puisi-puisi lama (berbahasa Arab) yang sangat panjang, beserta keterangannya lengkap. Waktu itu saya tidak tahu ada apa dengan Gus Dur yang tiba-tiba seperti itu.

Pas waktu pulang, saat di pesawat Gus Dur tiba-tiba memegang tangan saya dan berkata, “Anda dengerin ceramah saya di Lombok?”

“Dengar Pak!” jawabku.

“Catat, saya lebih hebat dari Cak Nur!”

Waktu itulah saya baru sadar saat di pesawat sebelumnya beliau hanya diam ternyata karena tidak terima dengan perkataan Nurcholis Majid yang saya sampaikan ke beliau. Gus Dur benar-benar sosok pendendam yang baik.

Saya belajar dari Gus Dur juga bahwa jadi manusia itu sangat berat. Saya teringat dan waktu itu saya baru sadar, ternyata shalatnya Gus Dur itu setelah wudhu kemudian duduk menghadap kiblat. Beliau juga mendawamkan wirid Ratibul Haddad menjelang akhir hayatnya.

Saya juga teringat saat Gus Dur dicium tangannya oleh Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa. Waktu itu saya dan Gus Dur sedang di bandara. Tiba-tiba Habib Mundzir al-Musawa yang hendak dakwah ke Papua menghampiri dan menciumi tangan Gus Dur seraya bersimpuh di hadapan Gus Dur. Lalu saya tanya, “Ada apa Bib?”

“Kalau wali ya Gus Dur, Kang Maman.” Jawab Habib Mundzir.

Tiba-tiba Gus Dur bertanya kepada saya, “Itu siapa?”

“Habib Mundzir, Pak,” jawab saya.

“Kalau ingin tahu wali yang muda ya Habib Mundzir. Tapi usianya tidak panjang,” kata Gus Dur kemudian.

Gus Dur sudah menyebut Habib Mundzir al-Musawa akan meninggal dunia dalam usia yang sangat muda.

Gus Dur terkadang kalau marah itu menarik. Tiba-tiba saya disuruh bacain surat kabar, ada beberapa kiai yang menolak Gus Dur. Kemudian Gus Dur berkata, “Apa salah saya yah Kang Maman? Padahal saya tidak pernah berbuat salah kepada kiai-kiai itu.”

Dalam masalah uang, saya pernah ceramah bareng Gus Dur. Waktu itu Gus Dur dapat amplop 50 juta, saya 5 juta. Ternyata punya saya yang 5 juta itu pun diminta Gus Dur,“Sini yang 5 juta Kang Maman!”

Lalu tiba-tiba oleh Gus Dur uang itu dibagi-bagi ke dalam beberapa bagian, dan dimasukkan ke dalam amplop. Gus Dur kemudian meminta saya untuk menuliskan satu persatu nama-nama kiai di amplop itu sesuai yang diucapkan Gus Dur; kiai anu dari Kalimantan, kiai anu dari Sulawesi, kiai anu dari perbatasan Sulawesi, dst.

Jadi Gus Dur tidak pernah punya dompet dan uang pun kadang-kadang selalu habis untuk dibagi-bagikan. Makanya sampai sekarang makam yang paling ramai dikunjungi orang Indonesia adalah makamnya Gus Dur. Gus Dur itu manusia, yang mampu memanusiakan manusia.

“Kenapa sewaktu Muktamar di Solo saya diusir pakai anjing?” Gerutu Gus Dur tidak terima.

Tapi saat turun ke bawah di Bandara Adi Sucipto, ada wartawan yang bertanya, “Gus, itu ada beberapa kiai yang menolak Anda.”

Cara bertahan Gus Dur menarik. Gus Dur tiba-tiba tersenyum dan menjawab, “Ah kata siapa? itu yang bilang paling tukang becak pakai sorban.”

Gus Dur mengijazahkan kepada saya di detik-detik terakhirnya, tanggal 7 Desember 2009, Ayat Kursi. Di kalimat “Wala Ya-uduhu dst...” dibaca 7 kali. Saya tanya, “Untuk apa Pak?”

“Untuk penjagaan saja. Indonesia akan mengalami masa-masa sulit, gonjang-ganjing, sampai tahun 2030-an.” Jawab Gus Dur


*Sya'roni As-Samfuriy. Disampaikan oleh KH. Maman Imanulhaq, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Jatiwangi Majalengka dan Ketua Umum LDNU Pusat dalam Pengajian Akbar dan Khataman Al-Quran Reuni IKABU (Ikatan Alumni Bahrul Ulum Tambakberas se-Jabodetabek).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...