Langsung ke konten utama

Konflik Rohingya; Benci Pembunuh, Bukan Benci Buddha

Kita semua sepakat, bahwa konflik Myanmar yang melanda wilayah Rakhine akhir-akhir ini adalah sebuah tindakan keji yang di lakukan oleh rezim militer Myanmar terhadap kelompok minoritas Muslim Rohingya. Anggapan tentang sedang di lakukannya genosida (pembersihan etnis) oleh pemerintahan Myanmar pun mendapat respon keras dari negara-negara di belahan dunia.

Indonesia, satu dari di antara beberapa negara yang turut pasang badan mengutuk kejadian tersebut pun vokal dalam hal ini. Melalui Menlu RI, Retno LP Marsudi, pemerintah Indonesia berupaya keras melakukan lobi diplomatik untuk Rohingya. Tindakan nyata tanpa perlu teriak boikot sana-sini dari pemerintah ini sangat pantas kita apresiasi bersama.

Di tengah-tengah perbincangan mengenai konflik Rohingya, timbul wacana bahwa, "Mayoritas umat Buddha Myanmar mengeksekusi minoritas umat Muslim Rohingya". Wacana tersebut memang sulit untuk bisa kita patahkan. Sebab ini fakta. Namun yang menjadi perhatian ialah, adanya konsolidasi dari pihak-pihak, khususnya di Indonesia dalam memanfaatkan wacana tersebut untuk menanamkan doktrin kepada masyarakat, agar menganggap titik masalah kejahatan yang dilakukan oleh rezim pemerintah Myanmar terletak dari balik kata 'Buddha'. Walhasil, umat Buddha yang ada di Indonesia pun turut menjadi bulan-bulanan kemarahan sebagian kelompok atas kecaman terhadap konflik Rohingya tersebut. Dalam hal ini saya tidak sedang menuduh kelompok tersebut tanpa dasar. Jejak digital yang akhir-akhir ini berseliweran di timeline media-media sosial menjadi pendukung atas apa yang saya katakan di atas.

Jika doktrin semacam ini di biarkan tumbuh, maka konflik horizontal akan terjadi di antara umat Islam dan umat Buddha di Indonesia. Saya dan beberapa orang dari kalian tentu sangat tidak menginginkan ini terjadi. Padahal, pertanggal 30 Agustus 2017, para pemuka agama Buddha melalui wadah Pimpinan Majelis-Majelis Agama Buddha Indonesia pun menunjukan sikap penolakan keras terhadap negara Myanmar yang di kemas dalam 10 point, (lihat: https://twitter.com/GDSuhendra/status/904150132383297536). Mereka pun murka dengan apa yang telah di lakukan umat Buddha di Myanmar terhadap kelompok Muslim Rohingya. Ini sama halnya dengan kemurkaan kita atas ISIS yang selama ini menisbatkan dirinya sebagai pemeluk Islam. Dan anehnya, mereka yang terdepan dalam memojokkan umat Buddha di Indonesia adalah mereka juga yang berteriak bahwa jangan pernah memukul rata atas tindakan ISIS kepada umat Islam di berbagai belahan dunia. Di sini saya jadi teringat dawuh Gus Mus, "Sederhana saja. Jangan lakukan terhadap orang lain apa yang kamu tak ingin orang lain melakukannya terhadapmu".

Tindakan penyelewengan para 'pengaku' penganut agama, tidak bisa kita jadikan bomerang kepada agama yang sedang ia 'akui'. Sebab saya percaya, agama (apapun itu) tidak lahir dari asas kebencian, melainkan terlahir dari asas kecintaan. Begitupun dengan agama Buddha, cinta di jadikan dasar aturan di setiap kehidupan. Ini bisa kita buktikan dengan melihat kalimat yang tercantum dalam Metta Sutta, Khuddakapanha, Khuddaka Nikaya :
“Cinta kasih adalah bagaikan seorang ibu yang mempertaruhkan nyawanya, melindungi putra tunggalnya. Demikianlah terhadap semua makhluk, dikembangkannya pikiran cinta kasih tanpa batas, ke atas, ke bawah, dan ke sekeliling, tanpa rintangan, tanpa benci dan permusuhan.”

Jadi, jika umat Buddha Indonesia pun turut mengecam aksi militer Myanmar, alasan apa untuk sebagian dari kita melakukan sindiran yang mengarah kepada memojokkan umat Buddha Indonesia itu sendiri? Sebenarnya apa yang sedang kita perjuangkan? Kemanusiaan kah, atau malah perpecahan?

Hemat saya, siapapun yang mengaku sedang dalam beragama, namun kejahatan yang selalu dilakukannya, sejatinya ia hanya seorang Atheis yang melayang terbawa angin tanpa jelas. Jadi jangan pernah mengatakan orang Islam/orang Kristen/orang Buddha/orang Hindu telah membunuh, katakanlah bahwa pembunuh telah membunuh. (Rois Faisal. R)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah sejak 1852 M

Jawa Timur.Santrionline - Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah merupakan Pesantren yang didirikan Mbah Busyro Al Khafi yang waktu mudanya belajar selama 17 tahun di Mekah. Pendiri Pesantren ini merupakan ayahnya Mbah Soleh yang mempunyai istri yang bernasab dengan Mbah Maimoen di Pesantren Al Anwar Sarang Rembang. Pesantren ini sudah mempunyai sekolah Formal, tapi tetap menjaga tradisi baca kitab turost dengan membangun Pesantren Kidul di sebelah selatan pesantren. Kiai Abdul Azis yang ditemui suarapesantren.net pada 29 Maret 2016 mengungkapkan bahwa dirinya meneruskan memimpin Pondok Kidul yang merupakan cabang dari Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah di Beji Jenu Tuban Jawa Timur. Pesantren yang terletak di jalur Pantura Tuban ini disebelah Barat yang juga disebut sebagai Pondok Kidul atau sebelah Selatan, sedang pusatnya di sebelah Utara. Dalam bangunan klasik yang terbuat dari kayu berpilar empat itu, tertulis tahun 1852 Masehi di mana tempat itu merupakan tempat penga

Perkawinan Dimata Gus Mus

Perkawinan itu pertemuan dua hal yang berbeda sekali. Ia tidak seperti perbedaan dua hal antar suku, atau antar Negara. Kedua yang terakhir ini lebih banyak jalan menjembataninya untuk bisa damai. Tetapi perbedaan dalam perkawinan adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Relasi suami isteri dalam rumah tangga tidak selalu indah, tidak selamanya membahagiakan, tidak selama damai. Selalu saja ada masa sulit, pertengkaran, percekcokan dan seterusnya. Menyelesaikannya tidak mudah, perlu hati-hati sekali. Paling-paling hanya tiga bulan saja masa-masa indah itu. Selebihnya bergelombang-gelombang. Orang bilang bahwa perempuan itu lemah, dan laki-laki itu kuat. Ini tak sepenuhnya benar, Kita coba saja laki-laki untuk membawa beras enam kilogram secara terus menerus, berjam-jam, berhari-hari dan berbulan-bulan. Satu atau dua jam mungkin bisa, tetapi terus menerus tanpa henti?. Apakah sanggup?. Saya kira tak ada. Laki-laki, suami, biasanya mengaku cepat lelah. Ia lebih suka duduk sambil

Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Ketika Didzalimi Dibalas Dengan Menyayangi

Keterangan foto: Yang sedang naik becak adalah al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang dan al-Habib Ali bin Husein Alattas Bungur Santrionline- Suemdang, Dahulu di masa al-Habib Ali al-Habsyi Kwitang masih hidup, ada seseorang yang sangat membencinya dan orang itu tinggal di Kwitang. Kelakuan orang itu terhadap al-Habib Ali al-Habsyi sunggah tidak terpuji. Bila lewat di hadapannya dengan sengaja meludah di depan al-Habib Ali al-Habsyi, sampai-sampai membuat marah para murid al-Habib Ali al-Ha bsyi. Hingga suatu saat, al-Habib Ali al-Habsyi memberikan jatah sembako berupa beras kepada orang itu. Dengan memanggil muridnya, al-Habib Ali al-Habsyi memerintahkan agar beras itu diberikan kepada orang itu. Hal ini membuat bertanya-tanya sang murid. Namun belum sempat ditanyakan, al-Habib Ali al-Habsyi berkata: “Berikan ini, tapi jangan bilang dari saya. Bilang saja dari kamu.” Lebih dari 2 tahun orang itu menikmati jatah sembako yang diberikan al-Habib Ali al-Habsyi kepadanya melalui p