Langsung ke konten utama

Cara Para Wali Menanam Islam di Tanah Jawa

Santrionline.net ~ Cara mengajar para wali jaman dahulu, menyebut Allah agar tidak terlalu nampak menyebutnya dengan Gusti Pengeran, Rasulullah dengan Kanjeng Nabi, Shalat dengan Sembahyang, Mushalla dengan Langgar, Syaikh atau Ustadz dengan Kyai, Tilmidzun Muridun dnegan Santri, Kalimat Syahadat dengan Kalimosodo, Syahadatain dengan Sekaten.

Cara para wali menasihati masyarakat tidak dengan (bahasa) Arab, tapi dengan isyarat, asal bisa diterima. Ingin jadi orang baik, cukup dinasihati, “Jangan lupa Jempol ya,” begitu saja. Jempol itu bagus, tidak sempurna jika tidak ada Jenthik (kelingking). Jenthik itu maknanya jangan otak-atik barang orang lain, jangan suka mencuri. Jadi para wali jaman dulu tidak perlu berdalil “As-sariqu was-sariqatu faqtha’u aidiyahuma” atau dengan dalil hadits “Lau anna Fathimata bintiy saraqat laqatha’tu yadaha”.

Terus Jari Manis, jangan bermanis-manis wajah. Jadi Penunggul, jadilah orang yang unggul tapi tidak sombong. Jadi Penuduh, jadilah yang bisa memberi petunjuk orang lain hal yang baik-baik serta diri kita bisa jadi Jempol.

Ghafura, yang berarti pengampunan, ditanam di depan masjid, disebut Gapuro (Gapura). Maknanya siapa saja yang masuk ke dalam masjid akan mendapat ampunan Gusti Pengeran (Allah Swt.).

Terus kenapa para wali berani mengajari dengan cara demikian, tidak khawatir kalau-kalau disalahpahami? Sebab kurikulumnya para wali dalam al-Quran “Ala inna auliya-allahi la khaufun ‘alaihim wala hum yahzanun”, artinya para wali Allah itu tidak memiliki rasa takut atau khawatir sama sekali. Berbeda dengan kurikulumnya para ulama “Innama yakhsyallaha min ‘ibadihil ‘ulama”, yang berarti para ulama itu memiliki rasa takut kepada Gusti Pengeran-nya.

Maka jika ada pengantin hadir diberikan Cengkir (buah kelapa yang masih muda), Gedang (pisang), dan Tebu. Artinya saya jadi mertua sudah Kenceng Pikirku (kuat pikirannya), kamu sudah saya Geged-geged (gigit) di-Gadang-gadang (diharapkan), aku sudah Manteb agar segera Mlebu (masuk). Jika ada yang membangun rumah agar memberikan Gedang (pisang) satu tundun di atas. Sebab jika tukangnya lesu agar tidak naik-turun mencari makanan. Semuanya itu ditanam oleh para wali.

Sehingga sehabis ditanam maka tumbuh. Berhubung tanaman ini ada di Jawa –sawahnya orang Hindu-Buda- maka hasilnya pun seperti yang kita lihat, semuanya dikatakan sebagai ilmu Kejawen atau Klenik. Padahal jika dibuka satu persatu di dalamnya, itu semua adalah ajaran untuk masyarakat yang tidak mengenal agama dan agar tidak lupa. Maka kemudian dibuat adat di tanah Jawa. Tanaman agama yang dibungkus dengan cara Jawa ini akhirnya dicek oleh para wali dengan tembang “Lir Ilir tandure wus sumilir...dst”, bermaksud sudah pada bangun belum. Kalau sudah bangun beneran, ayo panjat pohon Belimbing yang tepi buahnya ada 5 yakni sembahyang sehari 5 kali.

Jika sudah mulai tumbuh maka dibuatkan Pager (pagar). Pager Gresik namanya Giri, Pager Tengah namanya Demak, Pager Kulon (barat) namanya Cirebon. Ini namanya pagar atau bahasa al-Qurannya ‘Khalifah’. Semua ini ditanam dan dipagari oleh para wali hingga menyebar ke segala penjuru Indonesia (Nusantara). Hanya saja salah kaprahnya orang jaman sekarang tidak ikut menanam kok buat pagar, makanya jadi perkara.

Tinggalan para wali ini dinamakan Wilayah, artinya peninggalan para wali. Diri kita adalah penerusnya para wali. Seluruh orang Indonesia ini hasil dari jerih payahnya para wali yang diwariskan kepada para santri. Dan kenapa NKRI Harga Mati? Sebab NKRI ini peninggalan para wali. Maka diri kita (para santri) tidak mungkin berkhianat kepada Bangsa.

Itulah sebabnya kenapa jaman dulu Belanda kelimpungan menghadapi para santri. Karena orang Belanda memiliki keyakinan bahwa santri Indonesia tidak mungkin melepaskan Nusantara. Di mata Belanda santri Indonesia memiliki 3 ciri; kopyah miring sarungnya nglinthing, bau rokok, dan tangan gudigan. Tapi ketahuilah para santri inilah pelindung Indonesia sejak awal.

Seluruh pemberontakan dalam melawan penjajah Belanda kebanyakan dari para santri. Diponegoro santrinya Mbah Nur Muhammad Salaman Magelang, Sultan Agung santrinya Sunan Geseng, Cokroaminoto santrinya Mbah hasyim Asy’ari, R.A. Kartini santrinya Mbah Sholeh Darat Semarang. Karena seluruh pemberontak penjajah ini para santri dari Indonesia, maka Belanda membuat peraturan bahwa seluruh santri kalau sudah berhaji harus menyematkan Haji-nya di depan namanya agar mudah dikontrol, di tahun 1923 M.

Namun lama-lama Belanda semakin tidak paham terhadap para santri ini, karena semakin lama semakin aneh. Ternyata tiba-tiba para santri Indonesia ini membuat geger Dunia. Satu-satunya manusia yang berani demonstrasi ke Mekkah waktu itu ya santri Indonesia, saat makam Rasulullah Saw. hendak dibongkar oleh Raja Abdul Aziz bin Abdurrahman Al Saud tahun 1924-1925 M.

Hingga akhirnya Raja Saud tidak jadi membongkar makamnya Nabi Muhammad Saw. karena berbagai pertimbangan. Diantaranya karena seluruh orang Arab tahu kalau para santri ini –yang dipimpin Mbah Wahab Hasbullah- adalah utusan ulama kondang Indonesia yang bernama Hasyim Asy’ari. Satu-satunya ulama Indonesia yang bergelar ‘Hadhratus Syaikh’. Gelar yang tidak bisa diremehkan, karena untuk mendapat gelar tersebut syaratnya harus hafal Kutubus Sittah beserta Rijalul Hadits-nya. Ulama jaman dulu itu tidak seperti ulama sekarang saat menyebut/memberi gelar. Dulu jika seseorang mendapat gelar ‘al-Faqih’ syaratnya harus hafal lebih dari 2.000 hadits shahih. Jika gelar ‘al-‘Alim’ syaratnya seperempat al-Quran harus hafal. Gelar ‘al-‘Allamah’ berarti hafal al-Quran. Gelar ‘Syaikh’ berarti hafal Shahih Bukhari-Muslim beserta Rijalul Hadits-nya.

Santri-santri ini dikenal dengan nama ‘Komite Hijaz’ yang dipimpin Mbah Wahab Hasbullah. Dari sinilah yang akhirnya menjadi cikal-bakal berdirinya Jam’iyah Nahdlatul Ulama di Indonesia.
Maka marilah ajaran para wali yang sudah terbukti bisa mengislamkan tanah Jawa bahkan Nusantara yang diteruskan oleh para kyai, kita teruskan. Jangan galak-galak saat mengajar dan menuntun seseorang, agar tidak menjadi perkara. Pengajaran dengan cara yang bisa diterima masyarakat agar bisa diterima dengan hati yang tulus dan ikhlas.

Kalau cara Gus Dur dulu, jika nisbatnya ingin membuat majelis ta’lim yang menjadi tempat pengajaran maka bungkuslah dengan nama Jawa atau nama daerah setempat, agar orang-orang tidak merasa rikuh/sungkan jika hendak ikut mengaji. Contohnya sekarang itu seperti pesantren Jombang tempatnya Mbah Hasyim, Pesantren Lirboyo, Pesantren Sarang, Pesantren Trenceng, dan lain sebagainya. Kecuali jika masyarakat sekitar benar-benar sudah mengenal agama serta suka dengan kyainya, ya silakan namai dengan nama Arab.

Maka sekarang Anda lebih percaya kepada ulama yang hafal Kutubus Sittah ataukah yang hafal hadits tak seberapa tapi berani membuat rusuh Indonesia. Silakan dihayati sendiri. Mohon maaf jika ada salah dan khilaf. Semoga ada manfaat dan barokahnya. Amin.

هداني الله وإيّاكم إلى صراط مستقيم، صراط الّذين أنعمت عليهم من النّبيّين والصّدّيقين والشّهداء والأولياء والصّالحين، وصراط جمعيّة نهضة العلماء والنّهضيّين لنيل السّعادة لإندونيسيّا واندونسيّين، آمين...

(Syaroni as-Samfuriy, dialihbahasakan dari tulisan bahasa Jawa KH. Azizihasbulloh)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah sejak 1852 M

Jawa Timur.Santrionline - Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah merupakan Pesantren yang didirikan Mbah Busyro Al Khafi yang waktu mudanya belajar selama 17 tahun di Mekah. Pendiri Pesantren ini merupakan ayahnya Mbah Soleh yang mempunyai istri yang bernasab dengan Mbah Maimoen di Pesantren Al Anwar Sarang Rembang. Pesantren ini sudah mempunyai sekolah Formal, tapi tetap menjaga tradisi baca kitab turost dengan membangun Pesantren Kidul di sebelah selatan pesantren. Kiai Abdul Azis yang ditemui suarapesantren.net pada 29 Maret 2016 mengungkapkan bahwa dirinya meneruskan memimpin Pondok Kidul yang merupakan cabang dari Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah di Beji Jenu Tuban Jawa Timur. Pesantren yang terletak di jalur Pantura Tuban ini disebelah Barat yang juga disebut sebagai Pondok Kidul atau sebelah Selatan, sedang pusatnya di sebelah Utara. Dalam bangunan klasik yang terbuat dari kayu berpilar empat itu, tertulis tahun 1852 Masehi di mana tempat itu merupakan tempat penga

Perkawinan Dimata Gus Mus

Perkawinan itu pertemuan dua hal yang berbeda sekali. Ia tidak seperti perbedaan dua hal antar suku, atau antar Negara. Kedua yang terakhir ini lebih banyak jalan menjembataninya untuk bisa damai. Tetapi perbedaan dalam perkawinan adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Relasi suami isteri dalam rumah tangga tidak selalu indah, tidak selamanya membahagiakan, tidak selama damai. Selalu saja ada masa sulit, pertengkaran, percekcokan dan seterusnya. Menyelesaikannya tidak mudah, perlu hati-hati sekali. Paling-paling hanya tiga bulan saja masa-masa indah itu. Selebihnya bergelombang-gelombang. Orang bilang bahwa perempuan itu lemah, dan laki-laki itu kuat. Ini tak sepenuhnya benar, Kita coba saja laki-laki untuk membawa beras enam kilogram secara terus menerus, berjam-jam, berhari-hari dan berbulan-bulan. Satu atau dua jam mungkin bisa, tetapi terus menerus tanpa henti?. Apakah sanggup?. Saya kira tak ada. Laki-laki, suami, biasanya mengaku cepat lelah. Ia lebih suka duduk sambil

Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Ketika Didzalimi Dibalas Dengan Menyayangi

Keterangan foto: Yang sedang naik becak adalah al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang dan al-Habib Ali bin Husein Alattas Bungur Santrionline- Suemdang, Dahulu di masa al-Habib Ali al-Habsyi Kwitang masih hidup, ada seseorang yang sangat membencinya dan orang itu tinggal di Kwitang. Kelakuan orang itu terhadap al-Habib Ali al-Habsyi sunggah tidak terpuji. Bila lewat di hadapannya dengan sengaja meludah di depan al-Habib Ali al-Habsyi, sampai-sampai membuat marah para murid al-Habib Ali al-Ha bsyi. Hingga suatu saat, al-Habib Ali al-Habsyi memberikan jatah sembako berupa beras kepada orang itu. Dengan memanggil muridnya, al-Habib Ali al-Habsyi memerintahkan agar beras itu diberikan kepada orang itu. Hal ini membuat bertanya-tanya sang murid. Namun belum sempat ditanyakan, al-Habib Ali al-Habsyi berkata: “Berikan ini, tapi jangan bilang dari saya. Bilang saja dari kamu.” Lebih dari 2 tahun orang itu menikmati jatah sembako yang diberikan al-Habib Ali al-Habsyi kepadanya melalui p