“Wa lâ tahsabannal-ladzîna qutilû fî sabîli-llahi amwâtâ, bal ahyâ`un ‘inda rabbihim yurzaqûn (Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki),” demikian Allah menegaskan dalam QS. Ali Imran 169. Dari ayat ini mayoritas umat Islam meyakini bahwa para kekasih Allah hanya mati jasadnya saja, sementara ruhnya masih hadir dan mendengarkan semua aduan umat yang dihaturkan kepadanya supaya disampaikan kepada Allah, atau disebut dengan wasîlah.
Sebagian besar umat Islam mendatangi makam para kekasih Allah dengan berbagai tujuan, mulai dari persoalan dunia hingga akhirat. Tentu dari hati terdalam para peziarah itu, terdapat keyakinan yang berurat akar bahwa yang mengabulkan permintaannya adalah Allah, bukan wali yang diziarahinya. Posisi wali dalam hal ini hanya sebagai perantara, sebagaimana posisi malaikat Jibril sebagai mediator yang menghubungkan komunikasi antara nabi Muhammad dan Allah.
Salah satu makam yang mengundang banyak umat Islam -terutama yang tinggal di Kabupaten Brebes, Cirebon, dan Indramayu- untuk berdoa di situ adalah makam KH Ahmad Badawi yang terletak di tengah Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes Jawa Tengah. KH Ahmad Badawi merupakan salah seorang kyai kharismatik yang dapat menaklukkan para penjajah Belanda yang menyerang wilayah Kecamatan Ketanggungan dan sekitarnya dengan cara-cara yang sangat halus.
Konon, secara lahiriyah yang kasat mata, Kyai Badawi terlihat sebagai sosok yang sangat bersahabat dengan penjajah-penjajah itu. Kediamannya yang kini terletak di sekitar Jl Panggung Ketanggungan hampir setiap hari didatangi penjajah. Kepada para tamunya itu, Kyai Badawi menghormati betul, memberi jamuan berupa aneka makanan dan minuman, serta sangat ramah terhadapnya.
Penampakan Kyai Badawi yang terlihat hormat dan ramah terhadap penjajah ini ternyata bagian dari strateginya dalam menaklukkan penjajah. Baginya, menjamu tamu yang berprilaku biadab terhadap wong cilik bagian dari kesempatan ampuh untuk melumpuhkannya, yakni melalui makanan dan minuman yang disajikan, Kyai Badawi menyelipkan untaian-untaian doa yang sangat dahsyat.
Penjajah-penjajah itu ketika sudah menyantap makanan dari Kyai Badawi maka akan kalah dalam berperang. Pengelola masjid yang berada di depan tempat pemakaman Kyai Badawi, Ustadz Sayuti, menyampaikan bahwa karomah Kyai Badawi berbentuk isyarat yang tidak terlihat. Mungkin bagi orang awam sulit untuk mengenali perilaku Kyai Badawi pada masa hidupnya.
Ketika Belanda hendak menyerang daerah Ketanggungan bagian selatan (Kini menjadi Desa Buara, Desa Cikeusal, Desa Pamedaran dan sekitarnya), para penjajah yang berjumlah lebih dari 3 kompi mampir terlebih dahulu di kediaman Kyai Badawi. Seperti biasa, para penjajah itu disambut baik dan dijamu dengan beraneka macam makanan dan buah-buahan.
Di medan pertempuran, penjajah sebanyak 3 kompi itu tidak ada satu pun yang jasadnya kembali dalam keadaan masih hidup. Semuanya tewas di medan pertempuran. “Dados, Kyai Badawi niku naklukaken Belanda mboten ngangge serangan fisik, nanging ngangge isyarat ingkang mboten nampak (Jadi, Kyai Badawi itu menaklukkan Belanda tidak dengan cara penyerangan fisik, tapi menggunakan media yang tidak terlihat oleh mata),” tutur Sayuti di kediamannya yang berhadapan langsung dengan pintu masuk makam Kyai Badawi (23/1).
Panggung Ajaib
Tidak jauh dari tempat pembaringan jenazah Kyai Badawi, terdapat “rumah panggung” dengan ukuran kurang lebih 6×4 meter yang kini di bawahnya menjadi jalan penghubung antara jalan perkampungan dengan jalan raya Pasar Ketanggungan.
Rumah panggung atau orang Ketanggungan lebih akrab menyebutnya dengan “panggung” dibangun oleh Kyai Badawi digunakan sebagai majelis atau tempat berkumpul masyarakat setempat untuk memanjatkan pujian terhadap rasulullah saw yang populer dengan nama barjanjen.
Panggung ini terletak di depan tempat kediamannya yang kini ditempati salah satu ahli warisnya. Bagi masyarakat Ketanggungan, panggung ini “ajaib” karena dengan sendirinya dapat menyesuaikan dengan ukuran jalan di bawahnya. Pada masa Kyai Badawi, jalan di bawah panggung hanya sekitar 2 meter, seiring berjalannya waktu, jalan itu telah dilebarkan berulangkali, sementara panggung tidak ikut serta dilebarkan, namun anehnya panggung itu dengan sendirinya (tanpa ada intervensi tangan-tangan manusia) dapat bergeser sendiri menyesuaikan lebar badan jalan.
“Panggung niku salah setunggal karomahipun, ingkang sampe sak niki saged disakseni (Panggung itu salah satu karomah Kyai Badawi yang hingga kini dapat disaksikan),” papar Sayuti.
Menurutnya, karomah berupa isyarat alam yang dimiliki Kyai Badawi hingga kini sering muncul. Isyarat alam yang pernah dialami Sayuti sebagai juru kunci makam sendiri antara lain, ketika hendak terjadi bencana besar Tsunami di Aceh, semua ikan yang berada di kolam dekat makam mengambang seperti mati. Sayuti dan beberapa takmir masjid lainnya sempat kebingungan dengan perihal itu karena apabila mati mestinya berpengaruh terhadap air, tapi itu tidak, bau air biasa seperti bau air sumur lainnya.
Karena kebingungan itu, Sayuti dan teman-temannya menguras kolam dan mengganti dengan air baru, namun keadaan ikan masih tetap sama, diam seperti mati. Tepat pada pagi harinya media televisi menyiarkan telah terjadi bencana besar Tsunami di Aceh.
Sayuti dan beberapa rekannya menduga kuat bahwa perilaku ikan yang aneh itu adalah karomah Kyai Badawi yang berupa isyarat alam (petunjuk Tuhan melalui alam) akan adanya bencana besar di Aceh.
Karomah isyarat lainnya yang dirasakan Sayuti adalah bergetarnya lambang bulan bintang di masjid pesarean. Pada tahun 2004 di Kecamatan Ketanggungan, khususnya di wilayah sekitar makam Kyai Badawi, banyak masyarakat yang mengikuti Partai Bulan Bintang (PBB). Suatu ketika ada kampanye besar PBB di lapangan sepak bola yang berada di sebalah utara tidak jauh dari makam, Sayuti menyapu masjid, namun tiba-tiba lambang bulan bintang yang terbuat dari seng yang berada di dalam masjid bergoyang-goyang sendiri, sementara angin tidak bertiup sedikit pun. “Ini aneh!” kata Sayuti.
Beberapa waktu kemudian, sebagaimana disaksikan bersama, PBB telah mengalami kebangkrutan yang sangat luar biasa. Bagi Sayuti, anjloknya simbol Islam berupa bulan bintang di masjid yang berdekatan dengan makam itu adalah petunjuk alam akan terjadinya kemerosotan partai pimpinan Yusril Ihza Mahendra ini. “Ini bagian dari karomah Kyai Badawi yang saya rasakan,” sambungnya.
Kendati Kyai Badawi wafat pada tahun 1957 M., namun karomahnya hingga kini masih sering dirasakan keluarga, pengelola makam dan masjidnya, serta peziarah yang ikhlas merapalkan doa di tempat Kyai Badawi bersemayam. [AR/001]
source:nujateng
Komentar
Posting Komentar