Langsung ke konten utama

Propaganda Dibalik Kata Syiah Bukan Islam

Oleh: Muhsin Labib

Berikut ini merupakan modus-modus yang dituduhkan “Syiah Bukan Islam, Islam Bukan Syiah” oleh sekelompok orang pandir yang berlagak sebagai tuhan-tuhan swasta dengan klaim sebagai “Penentu Surga-Neraka”. Ini adalah tahapan modus kezaliman yang dilakukan oleh kelompok intoleran terhadap Madzhab Syiah dan pengikutnya.

Modus Pertama; Pemutarbalikan Fakta
Meski selalu menjadi sasaran tindak kekerasan, pengusiran, bahkan sampai pembunuhan, Syiah selalu ditampilkan sebagai pelakunya oleh kelompok intoleran/takfiri. Mereka menggunakan berbagai media. Mulai dari ceramah-ceramah di masjid, acara-acara seminar, media social, website-website sampai penyebaran buku dan video gratis. Disinformasi ini intensif dengan kedok tabligh akbar meski yang datang adalah peserta drop-dropan, juga melalui bedah buku oleh kawanan yang mengaku sebagai intelektual dan ulama. Akibatnya, syiah menjadi stigma negatif bagi siapapun yang dikenal atau dianggap syiah yang otomatis berdampak pada penerimaan publik terhadap mereka

Modus Kedua; Penyesatan
Syiah digambarkan melalui provokasi vulgar sebagai kumpulan ajaran orang-orang ngawur; orang-orang yang berencana masuk neraka. Karena penyesatan ini dilakukan dengan penghakiman in absentia di dalam masjid maka sebagian masyarakat terpengaruh. Lalu beredarlah anggapan “Syiah sesat” di tengah masyarakat. Bagi masyarakat yang sudah terpengaruh propaganda ini sikap intoleransi dan anti kebhinekaan dianggap sebagai bukti relijiusitas.

Modus Ketiga; Pengkafiran
Setelah penyesatan, tahap berikutnya adalah pengkafiran. Ada penambahan volume dan bobot fitnah dari modus sebelumnya. Modus ketiga ini tujuan utamanya adalah diskriminasi, intimidasi, dan pemusnahan. Orang yang sudah dicap kafir dipandang lebih hina daripada tikus got. Tikus adalah makhluk yang paling teraniaya di Jakarta. Jalan-jalan menjadi galeri sadisme, roda-roda melumatnya tanpa setitik iba padahal ia diciptakan untuk hidup. Mereka memperlakukan pengikut syiah seperti itu. Syiah telah dilukiskan sebagai pelaku kejahatan di Suriah lalu disesatkan kemudian dikafirkan dan selanjutnya mereka dianggap tidak lebih dari tikus got! Sampang buktinya.

Sasaran berikutnya adalah orang-orang non Syiah yang tidak mau menganggap Syiah sebagai sesat, kafir, atau bahkan hanya karena kurang lantang membencinya. Sejak dahulu kelompok intoleran gemas dengan sikap beberapa tokoh intelektual dan ulama besar. Mereka gagal menemukan setitik alasan untuk memojokkan mereka. Karena mereka tidak menemukan secuil pun alasan untuk menurunkan popularitas tokoh-tokoh yang toleran maka ditempuhlah beberapa modus operandi. Salah satunya adalah fitnah.

Analoginya seperti ini, karena menolak ajakan menuduh seseorang sebagai maling maka dia pun dituduh sebagai maling. Inilah represi intelektual dan pelanggaran HAM. Supaya kelompok takfiri itu leluasa mengais pahala dengan melakukan apa saja terhadap “orang-orang kafir” itu maka siapapun yang membela, masih mempunyai rasa iba dan empati dianggap sesat dan kafir juga.

Memberikan stigma “Syiah” kepada tokoh-tokoh yang toleran bertujuan agar masyarakat ikut menyesatkannya. Dengan stigma “Syiah” dan “Sesat” diharapkan penerimaan publik terhadapnya menurun, rating acara yang diasuhnya menurun. Sambil menanti itu, mereka distribusikan misionaris-misionaris untuk terus menggempur ulama toleran tersebut dengan stigma “Syiah” untuk kemudian mereka take over.

Sebenarnya cap “Syiah” itu bukan tuduhan, justru atribut berkelas karena identik dengan peradaban Islam yang dibangun di atas filsafat, tasawuf, teks dan lain-lain. Sebagian orang malah santai ketika disesatkan dan segar bugar ketika dikafirkan. “Kalau kita tidak disesatkan oleh Wahabi berarti kita sama dengan mereka, donk!”, seloroh mereka.

Meski Syiah adalah atribut mulia bagi penganutnya, tetapi sekarang kata ini “di-PKI-kan” dan efektif menjadi palu godam pembunuhan karakter. Dengan modus-modus tersebut, genosida bisa dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya karena suara tokoh-tokoh seperti Prof. Quraish Shihab, K.H Said Aqil Siradj, dan K.H Din Syamsudin dibungkam dengan cap “Syiah”. (roisfaisal)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...