Langsung ke konten utama

KH. Bisri Musthofa

KH. Bisri Musthofa
Rembang - santrionline.net

KH. Bisri Musthofa lahir di desa
Pasawahan, Rembang Jawa
Tengah pada tahun 1915
dengan nama Masyhadi, putra
pertama H. Zainal Musthofa
dengan istri keduanya yang
bernama Khodijah.

Nama Bisri
adalah nama yang ia pilih
sendiri sepulang dari
menunaikan ibadah haji.
Setelah lulus dari sekolah jawa
“Ongko Loro”, Bisri kecil mulai
dengan pengembaraannya
dalam rangka menuntut ilmu,
berawal dari pesantren Kajen
Pati, sekitar lima tahun,
kemudian pulang dan mondok
di pesantren Kasingan
Rembang (tetangga desanya
sendiri) dalam bimbingan kiyai
Kholil. Kira-kira sekitar lima
tahunan disana, tepat
berumur duapuluh KH. Bisri
Musthofa dinikahkan oleh
kiyai Kholil dengan putrinya
sendiri yang bernama
Ma’rufah.

Setahun setelah menikah KH.
Bisri Musthofa kembali
menunaikan ibadah haji dan
menetap selama dua tahun
lebih di Makkah guna
memperdalam ilmu agamanya.
Selang setahun dari
kepulanganya dari Makkah KH.
Bisri Musthofa menggantikan
posisi guru dan mertuanya
sebagai pengasuh pondok
pesantren Kasingan Rembang,
setelah wafatnya kiyai Kholil.

KH. Bisri Musthofa adalah
seorang ulama sekaligus
negarawan, jenius dan
produktif , banyak mengarang
buku-buku dan kitab-kitab,
diantaranya adalah:,
Tafsir Alibriz (3 jilid), Tafsir Surat
Yasin, Sulamul Afham (4 jilid),
Rowihatul Afham, Durorul
Bayan, Qowaidul Bahiyyah
Tuntunan Sholat dan Manasik
Haji, Syi’ir Ngudi Susilo,
Tarikhul Ambiya’, Tarikhul
Auliya’, Tarjamah Jrumiyah,
Tarjamah Imrithi, Tarjamah
Alfiah, Imamuddin, Metode
Berpidato dan masih banyak
lagi.
Beliau adalah ulama’
besar yang mengalami hidup
dalam tiga zaman, yaitu zaman
penjajahan, zaman
pemerintahan Sukarno dan
zaman Orde Baru.

Beliau pernah menjadi ketua
Nahdlotul Ulama, ketua
Hizbullah dan ketua Masyumi
Cabang Rembang, juga pernah
menjabat sebagai kepala
Kantor Urusan Agama dan
ketua Pengadilan Agama
Rembang. Menjelang Pemilu
1955 jabatan tersebut di
tinggalkan oleh beliau, dan
mulai aktif di partai NU. Ketika
Sukarno menjadi presiden, KH.
Bisri Musthofa masuk dalam
anggota konstituante,
anggota MPRS dan menjabat
sebagai Pembantu Menteri
Penghubung Ulama’.

Pada masa Orde Baru, beliau
pernah menjadi anggota DPRD
I Jawa Tengah hasil pemilu
1971 dari fraksi NU dan
anggota MPR dari utusan
Daerah Golongan Ulama. Pada
tahun 1977, ketika partai
Islam berfusi menjadi Partai
Persatuan Pembangunan,
beliau menjadi anggota
majelis syuro PPP Pusat, secara
bersamaan beliau juga duduk
sebagai Syuria NU wilayah
Jawa Tengah.

Selain itu KH. Bisri Musthofa
juga dikenal sebagai orator
atau macan Podium ulung
yang mampu mengutarakan
hal-hal yang sebenarnya sulit
menjadi lebih jelas dan
gamblang, mudah diterima
semua kalangan baik orang
kota maupun orang desa. Hal-
hal yang berat menjadi ringan
, sesuatu yang sebenarnya
membosankan menjadi
mengasikkan, sesuatu yang
kelihatannya sepele menjadi
amat penting, berbagai
kritiknya sangat tajam,
meluncur begitu saja dengan
lancar dan menyegarkan,
anehnya pihak yang dikritik
tidak marah tidak marah
karena disampaikan dengan
bahasa yang santun, sopan
dan menyenangkan.

Menjelang pemilu 1977, KH.
Bisri Musthofa terdaftar
sebagai calon nomor satu
anggota DPR Pusat dari PPP
untuk daerah pemilihan Jawa
Tengah. Namun sayang sekali,
pemilu 1977 berlangsung
tanpa kehadiran beliau,
karena telah meninggal dunia
seminggu sebelum masa
kampanye, 24 Februari 1977.

Read: Isa aL Anshori

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...