Langsung ke konten utama

Menyaksikan kejayaan Islam di bawah tanah kota Ramla

Ketika ahli ilmu bumi Muhammad Ibnu Ahmad Shams al-Din al-Muqaddasi mengunjungi Kota Ramla dalam perjalanan antara Kairo dan Damaskus pada abad ke 10, dia menggambarkan sebuah surga perkotaan yang bersaing dengan kota asalnya Yerusalem.

Meski sudah dibangun kembali, tetapi Ramla tidak dapat meraih kejayaannya di masa lalu.
"Ini merupakan kota yang bagus, dan dibangun dengan baik; airnya bagus dan banyak; buahnya berlimpah," tulis al-Muqaddasi dalam buku perjalanannya yang terkenal. "Perdagangan di sini menguntungkan, dan pasarnya bagus sekali."

Kota, yang dibangun sebagai ibukota provinsi baru Palestina pada 715, tak lama setelah wilayah itu di bawah kekuasaan Muslim, mendirikan masjid-masjid besar, gedung pemerintahan dan rumah mewah dengan taman-taman, mosaik dan mata air. Tetapi sebagian besar bangunan hancur akibat rangkaian gempa pada abad ke 11, dan meski sebagian dibangun kembali, kota itu tak pernah meraih kewibawaannya lagi.

"Anda hampir tak melihat apapun hari ini," kata Gideon Avni, kepala divisi arkeologi pada Otoritas Kepurbakalaan Israel.

Hari ini, Ramla merupakan kota kecil di Israel yang berpenduduk Yahudi dan Arab yang terletak di dekat Bandara Ben Gurion, sekitar 25 km bagian tenggara Tel Aviv, yang tengah bekerja untuk mengatasi reputasinya dari kriminalitas dan perdagangan narkoba.

Tetapi, sebuah waduk air berukir di bawah tanah menawarkan sebuah kilasan pada pesona masa lalu kota ini. Sebuah pintu masuk utama ke dalam dunia bawah tanah, di mana para arkeolog menemukan empat waduk yang luas, juga bukti lain mengenai bagaimana saluran air memasok air ke kolam ini, yang ditemukan di sebuah jalanan utama di pusat kota Ramla.

Di dalam sebuah gedung kecil, yang dikelilingi oleh blok apartemen dan sebuah taman, sebuah tangga dari batu mengarah ke penampungan air yang luas. Langit-langitnya ditopang oeh sejumlah lengkungan yang runcing, yang diberi nama 'Kolam Busur'.

Bukaan kecil pada langit-langit, seperti seperti bola lampu merah dan hijau yang modern, menembus kegelapan, menunjukkan dinding yang ditutupi lumut dan sebuah ukiran prasasti dalam bahasa Arab yang mengatakan bahwa waduk tersebut dibangun pada 789 atas perintah Khalifah Harun al Rashid, yang memerintah wilayah tersebut dari Baghdad.

Para pengunjung dapat menjelajahi waduk dengan perahu dayung
Sebuah dermaga kecil menawarkan perahu untuk menjelajahi waduk yang berusia 1.228 tahun. Ketika ayah saya menaiki perahu kami berkeliling waduk, menghindari sejumlah dasar lengkungan yang menopang atap, saya menatap langit-langit -setinggi 9 meter - yang tampak lebih cocok untuk sebuah katedral atau istana daripada untuk tempat penampungan air. Satu-satunya suara yang terdengar adalah gemericik air akibat kayuhan dayung dan bunyi kamera saya ketika saya mengambil foto. Udara yang lembap berbau apek, menambah perasaan tergelincir ke masa lalu.

Para arkeolog yakin waduk ini merupakan yang pertama kali di dunia Arab yang menggunakan lengkungan runcing seperti busur, yang kemudian menjadi sebuah karakteristik yang mendefinikan arsitektur Islamis, tampak pada momumen yang terkenal seperti istana Alhambra palace di Granada, Spanyol.

Busur ini "membebaskan arsitek baik untuk menaikkan struktur dan juga menjadikannya lebih luas dan lapang," kata Katia Cytryn-Silverman, seorang pengajar senior Studi Arkeologi dan Timur Tengah di Universitas Hebrew.

Untuk menambah kesan magis pada tangki air, busur juga menggambarkan perpaduan budaya yang mendefinisikan Ramla dan kekaisaran Islam secara keseluruhan. Inspirasi untuk lengkungan busur diambil dari Kekaisaran Persia kuno, dimana ide dari sebuah waduk bawah tanah berasal dari sistem pembangunan tangki air Yunani dengan lengkungan-lengkungan ketika masa Konstantinopel, jelas Avni.

Sebuah prasasti di dinding mengungkapkan waduk ini dibangun pada 789
"Ini merupakan satu titik perjumpaan antara Timur dan Barat," kata dia. Faktanya, waduk ini melambangkan Ramla sebagai sebuah persimpangan penting bagi budaya dan perdagangan pada masanya.

Ketika kekaisaran Romawi dan Byzantium menguasai provinsi kuno Palestina, ibu kotanya adalah Caesarea, sebuah kota pelabuhan yang dibangun oleh Herodes Yang Agung di pesisir Mediterania.
Tetapi ketika wilayah itu menjadi bagian kekaisaran Muslim dari dinasti Umayyah pada awal abad ke 8, sebuah ibu kota baru dibangun di Ramla, yang merupakan daerah berpasir yang belum dibangun berjarak 13km dari pesisir.

Lokasi ini dipilih karena berada di jalan utama menuju Damaskus, pusat dari Kekhalifahan Umayyah, dan mungkin juga untuk membuat jengkel kota Kristen Ludd, yang terletak di dekatnya, yang menolak untuk menyerahkan tanah pada kekaisaran baru Muslim, kata Cytryn-Silverman.

"Apakah itu didirikan sebagai balas dendam atau motif obyektif, ibu kota baru ini menikmati posisi yang strategis yang pernah dikuasai Ludd, " jelas Cytryn-Silverman.
Apakah itu didirikan sebagai balas dendam atau motif obyektif, ibu kota baru ini menikmati posisi yang strategis.
Selama bertahun-tahun arkeolog di Ramla telah menemukan ratusan koin kuno dicetak di seluruh dunia Islam, dari Aljazair sampai Uzbekistan, menunjukkan bagaimana pentingnya jalur itu pada masa itu. Bukti lain adalah populasi yang beragam yaitu Muslim, Kristen dan Yahudi.

Ketika dinasti Abbasiyah bergulat untuk mengendalikan kekaisaran Islamis yang jauh dari Umyyah pada 750, mereka, juga melanjutkan membangun Ramla. Kolam Busur, dibangun pada 789, merupakan proyek mereka yang paling ambisius - berukuran 400 meter persegi dan terdapat terowongan saluran air yang sampai hari ini dapat dilihat di pinggiran kota. Para penduduk dapat mengambil air dengan ember dengan membuka langit-langit waduk.

Tetapi meski memiliki konstruksi yang kokoh, Kolam Busur tak lagi digunakan lagi setelah 150 tahun, ketika gempa bumi merusak terowongan yang digunakan untuk salurah air dan sebuah proyek pembangunan kembali menyebabkan waduk berada di luar batas kota yang baru.

Lokasi itu menjadi reruntuhan selama berabad-abad, hanya menjadi tempat menampung air hujan dan di mana para gembala akan berhenti untuk mengambil air bagi hewannya - penduduk setempat menyebutnya 'Kolam Kambing'. Pada 1862, arkeolog Prancis Melchior De Vogue menemukan prasasti peringatan dan tangki air yang terlantar dipenuhi pasir.

Lorong waduk ditopang oleh langit-langit berbentuk busur seperti bulan sabit.
Tetapi sebagian besar masih tersembunyi sampai 1960an, ketika pemerintah kota Ramla membersihkannya dan mengizinkan para pengunjung berkeliling dengan parehu.

Sumber air untuk kolam pada saat ini merupakan akuifer dan bocoran dari sistem perairan modern kota tersebut, bukan dari saluran air kuno. Setidaknya tiga waduk lain yang serupa telah ditemukan di dekatnya selama bertahun-tahun, tetapi tidak dibuka untuk publik karena kekhawatiran mengenai keselamatan dan kestabilan bangunan tersebut.

Tidak seperti pondasi dari bangunan pada masa awal masa Islamis yang ditemukan di bawah tanah Ramla oleh arkeologis, yang seringkali tampak seperti tumpukan batu bagi mata orang awam, Kolam Busur memungkinkan para pengunjung untuk menghidupkan kembali masa lalu kota ini yang megah. Khalifah Harun al Rashid, yang memerintahkan pembangunan kolam, berkuasa pada Masa Keemasan Islam, ketika ekonomi, sains dan budaya berkembang dari bagian barat kekaisaran di Spanyol sampai ke Asia.

Arti penting dan kejayaan dari masa ini menjadi jelas ketika perahu kami menembus air yang gelap di bawah busur yang tinggi, yang masih berdiri setelah lebih dari 1.200 tahun.

"Nyaris ini saja yang tersisa," kata Avni. "Dan Anda harus turun ke bawah tanah untuk melihatnya."

Source : BBC Travel



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...