Langsung ke konten utama

Kota Marawai Telah Menjadi Kota Kenangan, Kota Islam Yang Damai

philstar.com
ILIGAN - Marawi sebelumnya dikenal dengan nama Dansalan, sebuah Ibu Kota Provinsi Lanao, Filipina, yang terpecah dari 1907-1940. Kota itu kemudian resmi berganti nama menjadi “Kota Islam Marawi” setelah diusulkan melalui RUU Parlemen 261 di era rezim Marcos.

Lebih dari 90 persen dari 100 juta orang Filipina adalah warga Kristen. Tapi di Marawi, warga Muslim menjadi mayoritas. Pada tahun 1980 Marawi resmi diproklamirkan menjadi ”Kota Islam” dan jadi satu-satunya kota di Filipina dengan sebutan seperti itu.

Meski menjadi Kota Islam, Marawi juga menjadi rumah yang damai bagi komunitas Kristen. Selama puluhan tahun, perdamaian tecipta di kota ini. 

Namun, perdamaian di Kota Islam Marawi tercabik-cabik sejak pekan lalu. Kelompok milisi Maute yang telah menjadi sayap kelompok Islamic State (ISIS) di Filipina tiba-tiba menyerbu kota itu. Serbuan itu sebagai balas dendam setelah tempat persembunyian pemimpin mereka, Isnilon Hapilon, diserang pasukan Filipina.

Sejak serbuan kelompok Maute itu, Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengumumkan status darurat militer di kota Islam tersebut. Pasukan Filipina kemudian dikerahkan untuk mengusir kelompok Maute. Pertempuran pun tak terhindarkan.

Para tentara Filipina pada Minggu (28/5/2017), terus mengepung Kota Marawi, Mindanao, untuk merebut kota itu dari kelompok Maute, sayap ISIS di Filipina. Foto/REUTERS/Erik de Castro

Hingga Senin (29/5/2017) hari ini, korban jiwa sudah mencapai sekitar 100 orang. Para korban berasal dari warga sipil, kelompok Maute juga dari pasukan Filipina.

Dalam beberapa hari terakhir, Marawi berubah menjadi kota horor. Kelompok Maute dilaporkan mengeksekusi sejumlah warga sipil dan menyandera banyak warga, termasuk dari komunitas Kristen.

Pastor Teresito "Chito" Sugarno dan selusin pengikutnya menjadi bagian dari sandera kelompok milisi bersenjata itu.

Uskup Edwin Dela Pena, salah satu pemimpin gereja di Marawi yang menerima telepon dari salah satu sandera. ”Dia (Pastor Chito) hanya diberi beberapa baris (kalimat) untuk disampaikan, dan itu hanya menggemakan tuntutan para penculik, agar pasukan mundur,” kata Dela Pena. “Jika permintaan itu tidak dipenuhi, dia diberi tahu, sesuatu yang buruk akan terjadi.”

Bagi komunitas Kristen di Marawi, apa yang terjadi saat ini bukan gesekan dengan komunitas Muslim.

”Kami tidak menganggap diri kami Muslim atau Kristen, kami hanya berteman,” kata Dela Pena, yang telah tinggal selama 17 tahun di Marawi, namun dia berada di luar kota itu saat kekerasan pecah.

Perdamaian yang jadi kebanggaan warga Marawi, kata Dela Pena, hancur. Perdamaian mulai tercabik setelah tentara Filipina mengebom basis kelompok Maute yang jaraknya sekitar 50 km (30 mil) dari Marawi.

”Mereka mengatakan bahwa mereka memadati seluruh perkemahan, namun orang-orang ini memindahkan basis operasi mereka dari hutan ke pusat kota, ke Kota Marawi,” katanya kepada Reuters dalam sebuah wawancara dari Kota Iligan, yang berjarak 37 km dari Marawi.

source:International.sindownews.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...