Langsung ke konten utama

Pemuda dari 23 Negara Asing "Ngaji" di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen

Kebumen, santrionline
Organisasi kepemudaan Nahdlatul Ulama, GP Ansor menggelar "Global Intercultural Youth Exchange" (GIYE) 2017 sebagai sebuah upaya diplomasi ringan untuk meningkatkan persahabatan antarpemuda dan pelajar dunia.

Global Intercultural Youth Exchange 2017 (Foto: Dok. GP. Ansor)
Acara Global Intercultural Youth Exchange" (GIYE) 2017 diselenggarakan dari Kamis (18/5) hingga Minggu (21/5) di Jakarta hingga Jawa yang  melibatkan ratusan pelajar dan mahasiswa dari 23 negara. GIYE diselenggarakan untuk meningkatkan persahabatan antarpemuda dan pelajar dunia tanpa membedakan ras dan agama, melalui pengenalan khazanah kebudayaan," ujar Gus Yaqut C Qoumas dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis.

Kegiatan yang diikuti oleh 23 negara diantaranya negara-negara di Asia Tenggara, ada juga negara-negara selain dari Asia Tenggara seperti dari Korsel, Iran, Afganistan, India, Gambia, Afrika Selatan, Yaman, Sudan,Tanzania, Rwanda, Ekuador, Sierra Leone, Belanda, Prancis, Italia dan Rusia, ditambah 25 mahasiswa dan pemuda dari Indonesia. 

Pada hari berikutnya para peserta mengunjungi Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Kahfi Somolangu, Kebumen, Jawa Tengah. Ponpes Al-Kahfi Somolangu merupakan salah satu ponpes tertua di Asia Tenggara. Ponpes ini didirikan oleh Syaikh as-Sayid Abdul Kahfi al-Hasani pada 25 Sya’ban 879 H atau bertepatan dengan 4 Januari 1475 M. Para Rombongan peserta GIYE 2017 tiba di Ponpes Al-Kahfi Somolangu pada Jumat (19/5) dini hari. Setelah cukup istirahat, sarapan dan diterima oleh pengasuh ponpes, mereka diperkenalkan dengan seputar pesantren. Mulai dari sejarah dan perkembangan, situs dan prasasti, serta berinteraksi langsung dengan para santri dan masyarakat sekitar ponpes.

“Saya sangat senang mengikuti acara ini. Karena saya bisa bertemu dan mengenal dunia pesantren. Perempuannya memakai hijab. Orangnya ramah-ramah”, ujar Ana Cristina Valdes Cordovez, salah satu pelajar delegasi dari Ecuador.

Ana tampak antusias dan senang mengenakan hijab, souvenir dari ponpes. Ia gunakan untuk berfoto ria di lingkungan pesantren. “Saya punya thesis bahwa hijab tidak identik dengan teroris,” ujar Ana, yang berkeyakinan agama katolik.

Sementara Xander Laurence Victor Somers, salah satu pemuda delegasi dari Netherlands, mengatakan bahwa acara ini sangat memotivasinya untuk mengenal lebih mendalam tentang Islam dan budaya Indonesia, serta menambah networking antar pemuda dari berbagai negara. “Kegiatan ini memberikan banyak hal baru, dan acaranya seru,” ujar Xander.

Global Intercultural Youth Exchange 2017 (Foto: Dok. GP. Ansor)
Ngaji berikutnya akan dilakukan pada sore hari yang dikemas dalam bentuk seminar dan talkshow dengan tema Islam dan Budaya Nusantara. Narasumber yang akan mengisi acara ini diantaranya tokoh, ulama, akademsi, dan budayawan, yakni Habib Faishol, Suratno, Romo Donny Satryowibowo, dan Kiai Nurul Huda.

Pada malam harinya, peserta akan disuguhi Gala Dinner ala Santri. “Para peserta diajak makan bareng dengan para santri, dimana makan dalam satu penampan, duduk lesehan beralaskan tiker, makan langsung pakai tangan tanpa sendok. Inilah wujud kesederhaan dan kebersamaan yang membudaya di pesantren,” kata Hasyim Habibi, ketua pelaksana GIYE 2017 GP Ansor. Tak kalah menarik, acara Intercultural Night Show, yakni ajang bagi para peserta untuk menampilkan seni dan budaya negara masing-masing.

M. Fatkhul Maskur, Wasekjend GP Ansor, mengatakan bahwa pesantren adalah pusat pendidikan dan pusat dakwah, yang menjadi bagian terpenting dari Nahdlatul Ulama yang mengusung dan mempromosikan Islam Nusantara, Islam  yang menyatu dengan budaya Nusantara, Islam Rahmatan Lil’alamin.

“Kegiatan ini tidak sekedar mengenalkan budaya pesantren dan nilai-nilai Islam Nusantara, tetapi juga mengajak peserta terlibat dan merasakan langsung bagaimana nilai-nilai Islam Nusantara itu tumbuh berkembang di dunia pesantren. Mereka diharapkan lebih mengenal wajah Islam yang toleran dan membawa kedamaian”, ujarnya.(Yusuf/N.Kholis)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah sejak 1852 M

Jawa Timur.Santrionline - Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah merupakan Pesantren yang didirikan Mbah Busyro Al Khafi yang waktu mudanya belajar selama 17 tahun di Mekah. Pendiri Pesantren ini merupakan ayahnya Mbah Soleh yang mempunyai istri yang bernasab dengan Mbah Maimoen di Pesantren Al Anwar Sarang Rembang. Pesantren ini sudah mempunyai sekolah Formal, tapi tetap menjaga tradisi baca kitab turost dengan membangun Pesantren Kidul di sebelah selatan pesantren. Kiai Abdul Azis yang ditemui suarapesantren.net pada 29 Maret 2016 mengungkapkan bahwa dirinya meneruskan memimpin Pondok Kidul yang merupakan cabang dari Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah di Beji Jenu Tuban Jawa Timur. Pesantren yang terletak di jalur Pantura Tuban ini disebelah Barat yang juga disebut sebagai Pondok Kidul atau sebelah Selatan, sedang pusatnya di sebelah Utara. Dalam bangunan klasik yang terbuat dari kayu berpilar empat itu, tertulis tahun 1852 Masehi di mana tempat itu merupakan tempat penga

Perkawinan Dimata Gus Mus

Perkawinan itu pertemuan dua hal yang berbeda sekali. Ia tidak seperti perbedaan dua hal antar suku, atau antar Negara. Kedua yang terakhir ini lebih banyak jalan menjembataninya untuk bisa damai. Tetapi perbedaan dalam perkawinan adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Relasi suami isteri dalam rumah tangga tidak selalu indah, tidak selamanya membahagiakan, tidak selama damai. Selalu saja ada masa sulit, pertengkaran, percekcokan dan seterusnya. Menyelesaikannya tidak mudah, perlu hati-hati sekali. Paling-paling hanya tiga bulan saja masa-masa indah itu. Selebihnya bergelombang-gelombang. Orang bilang bahwa perempuan itu lemah, dan laki-laki itu kuat. Ini tak sepenuhnya benar, Kita coba saja laki-laki untuk membawa beras enam kilogram secara terus menerus, berjam-jam, berhari-hari dan berbulan-bulan. Satu atau dua jam mungkin bisa, tetapi terus menerus tanpa henti?. Apakah sanggup?. Saya kira tak ada. Laki-laki, suami, biasanya mengaku cepat lelah. Ia lebih suka duduk sambil

Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Ketika Didzalimi Dibalas Dengan Menyayangi

Keterangan foto: Yang sedang naik becak adalah al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang dan al-Habib Ali bin Husein Alattas Bungur Santrionline- Suemdang, Dahulu di masa al-Habib Ali al-Habsyi Kwitang masih hidup, ada seseorang yang sangat membencinya dan orang itu tinggal di Kwitang. Kelakuan orang itu terhadap al-Habib Ali al-Habsyi sunggah tidak terpuji. Bila lewat di hadapannya dengan sengaja meludah di depan al-Habib Ali al-Habsyi, sampai-sampai membuat marah para murid al-Habib Ali al-Ha bsyi. Hingga suatu saat, al-Habib Ali al-Habsyi memberikan jatah sembako berupa beras kepada orang itu. Dengan memanggil muridnya, al-Habib Ali al-Habsyi memerintahkan agar beras itu diberikan kepada orang itu. Hal ini membuat bertanya-tanya sang murid. Namun belum sempat ditanyakan, al-Habib Ali al-Habsyi berkata: “Berikan ini, tapi jangan bilang dari saya. Bilang saja dari kamu.” Lebih dari 2 tahun orang itu menikmati jatah sembako yang diberikan al-Habib Ali al-Habsyi kepadanya melalui p