Langsung ke konten utama

KEBANGKITAN NU CARE-LAZISNU ADALAH KEBANGKITAN WARGA NAHDLIYYIN


Perintah zakat dalam Al-Qur’an disebutkan beriringan dengan perintah shalat. Dari 30 buah kata “zakat” yang disebutkan dalam Al-Qur’an, sebanyak 27 buah di antaranya (90%) ditemukan bergandengan dengan kata “shalat”. Inilah yang kemudian menjadi dasar bahwa kaum muslim harus benar-benar memperhatikan perihal zakat, sebagai praktik ibadah sosial yang mesti membudaya di Indonesia. Sebab, kini zakat hanya dipahami sebagaian umat muslim sebagai zakat fitrah saja. Zakat mal (zakat harta) belum dipahami sebagai potensi yang sangat besar bagi kesejahteraan-kemandirian masyarakat.

Kapan umat muslim mesti memahami pentingnya zakat; mesti bangkit dengan zakat? Hal ini tergantung dengan umat muslim itu sendiri; hendak berubahkah? Dan, perubahan itu tidak boleh hanya menjadi jargon saja. Bukankah kita mafhum, Allah Swt tidak akan mengubah nasib suatu kaum terkecuali orang itu ingin mengubah dirinya sendiri.

Dalam hal ini, kita tidak ingin bermain jargon atau dalil saja. Tapi, bagaimana kita bisa mengupayakan bangkitnya kesadaran masyarakat dalam berzakat. Karena kita juga tahu betul, zakat itu adalah rukun Islam seperti halnya shalat. Dan shalat menjadi rukun Islam yang sangat erat kaitannya dengan zakat. Ketika shalat menjadi tiang agama dan orang yang melaksanakannya berarti berkontribusi mengokohkan agamanya. Begitu juga dengan zakat; selagi orang-orang yang berkewajiban menunaikan zakat namun tidak mau mengeluarkan zakatnya, maka terjadilah kerusakan. Tidak hanya kerusakan bagi pribadi sesorang yang tidak berzakat saja, tetapi juga berdampak pada masyarakat di sekelilingnya. Dampak atau akibatnya adalah terjadinya ketimpangan sosial antara yang kaya dan yang miskin; kecemburuan sosial, bahkan tidak dapat dipungkiri pula akan muncul kejahatan yakni yang kaya makin menumpuk kekayaannya dan yang miskin meratapi nasibnya. Itu kejahatan.



Kemudian, NU CARE-LAZISNU bangkit. Bangkit sebagai jembatan, untuk menawarkan-memberikan manfaat pada masyarakat dengan selalu berupaya meningkatkan kinerjanya dalam penggalangan dana (fundraising). Penggalangan dana itu dimaknai dengan semangat berjuang mengeluarkan sebagian hartanya dengan tujuan kemanfaatan untuk kesejahteraan-kemandirian umat.
Pola yang dikembangkan untuk penggalangan dana di kalangan masyarakat semakin hari semakin berkembang dengan sangat cepat, terlebih dengan perkembangan dunia digital yang sekarang menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia. Berbagai macam metode yang modern tentunya harus dilakukan dalam rangka untuk berinovasi dalam pengumpulan dana, baik itu melalui website, sosial media, dan model aplikasi yang siap saji. Hal ini didorong dengan konsep wal akhdzu bil jadid al ashlah. Yang pasti, konsep sederhananya adalah berpikir bagaimana donator itu merasa dilayani dan merasa dimudahkan teknologi masa kini.

Namun, selain dengan cara tersebut di atas, penting juga untuk tetap mengoptimalkan metode yang sudah dijalankan sebelumnya, seperti dengan menaruh kotak infak di warung atau toko-toko. Kaitannya dengan hal ini, NU CARE-LAZISNU menggerakan program nasional, yakni “Gerakan KOIN (Kotak Infaq). Dengan izin Allah Swt, NU CARE-LAZISNU memulai menghidupkan-mengoptimalkan kembali gerakan klasik ini sejak pertemuan NU CARE-LAZISNU se-Nusantara, di Sukabumi awal Februari 2017. Gairah Kabupaten Sukabumi dalam berbagi menjadi sebuah virus yang membangkitkan gairah pergerakan NU CARE-LAZISNU seluruh Nusantara, yang kemudian menjadi era baru, era kebangkitan zakat bagi warga Nahdliyyin.


Walaupun sejatinya beberapa wilayah di Indonesia sudah melakukan gerakan zakat sebelum nisab (penghitungan zakat) atau bisa disebut dengan gerakan infaq, tapi spirit yang digelorakan Kabupaten Sukabumi membawa dampak yang sangat positif. Dan, akhirnya bisa menggerakkan gairah berbagi, gairah filantropi di berbagai daerah di Indonesia. Contohnya Sragen, yang sedang membangun rumah sakit NU, atau suksesnya program pemasangan lampung di desa-desa di Kulonprogo, juga Banyumas yang aktif bersinergi dengan Kemenag dan LP Ma’arif NU.

Selanjutnya, dalam rangka menyambut bulan suci Ramadan NU CARE-LAZISNU mengusung tema besar: "Ramadan Berbagi". Spirit berbagi atau spirit kedermawanan seyogyanya menular dan massif dilakukan oleh semua elemen bangsa, sehingga energi positif ini akan memberikan manfaat atau keberkahan yang nyata bagi semua makhluk Allah yang ada di Bumi Pertiwi yang kita cintai ini, bumi Indonesia.


Satu contoh kedermawanan yang mulia, bisa kita teladani dalam cerita berikut:

Syahdan, ketika Kanjeng Nabi Muhammad Saw keluar rumah pada Hari Raya untuk menunaikan Shalat Iedh, Kanjeng Nabi Saw melihat anak-anak sedang bermain. Kanjeng Nabi melihat seorang bocah termenung dan menangis, kemudian Kanjeng Nabi berkata kepadanya:

“Apa gerangan yang membuatmu menangis, Nak?”

Si Bocah berkata kepadanya, sedangkan ia belum tahu bahwa itu adalah Nabi Muhammad Saw:

“Biarkan saya bersedih wahai Tuan, karena ayahku gugur dalam peperangan bersama Rasulullah Saw, sedangakan ibuku menikah dengan selain ayahku. Lalu ayah baruku itu mengambil rumahku. Dia memakan hartaku hingga kini aku menjadi seperti yang engkau lihat,; telanjang, kelaparan, merintih, dan lunglai. Maka, ketika tiba Hari Raya aku melihat anak-anak bermain, aku jadi bertambah sedih dan aku pun menangis.”

Lalu Nabi Saw berkata kepadanya:

“Maukah kamu kalau aku menjadi ayahmu? Dan Aisyah sebagai ibumu, dan Fathimah sebagai kakakmu, dan Ali sebagai pamanmu. Dan Hasan, Husain sebagai saudaramu.”

Lalu seorang yatim itu berkata kepada Nabi Saw:

“Bagaimana mungkin saya tidak mau wahai Rasulullah.”

Nabi Saw mengajaknya menuju ke rumah. Lalu dia memberinya makan dan memakaikan baju baru.
Kemudian, anak yatim itu keluar dan bermain bersama anak-anak yang lain. Anak-anak itu berkata kepadanya:

“Tadi kau termenung dan menangis di antara kita. Apa gerangan yang menbuatmu senang sekarang?”

Anak yatim itu berkata kepada teman-temannya:

“Tadinya aku lapar, lalu menjadi kenyang. Tadinya aku telanjang kini berpakaian. Tadinya aku tidak punya ayah, lalu Rasulullah Saw menjadi ayahku. Dan Aisyah menjadi ibuku. Dan Fathimah sebagai kakakku, serta Ali menjadi pamanku. Hasan-Husain menjadi saudaraku.”

 Anak-anak itu berkata padanya:

“Aduhai, kalaulah ayah-ayah kami turut gugur dalam suatu peperangan bersama Rasulullah SAW.”


Oleh : Nur RohmanDirektur Fundraising PP. NU CARE-LAZISNU

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...