Langsung ke konten utama

Ini Pesan Perdamaian Pipit, Korban Bom Kampung Melayu Yang Bikin Merinding

Pesan Perdamaian Pipit, Korban Bom Kampung Melayu

Ipnujateng.or.id - Peristiwa Bom Bunuh Diri yang terjadi di Kampung Melayu akhir-akhir ini tentu mengagetkan kita. Bagaimana tidak? Di tengah upaya persatuan dan penangkalan radikalisme yang gotong royong dilakukan oleh masyarakat, baik dari kalangan Pesantren, Organisasi Masyarakat hingga Kepolisian, masih saja ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan melakukan teror dengan berbagai dalih.

Tidak sampai disitu kekagetan kami. Salah satu korban ternyata adalah kader Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama. Sebagai satu keluarga besar tentu perasaan sedih kami semakin mendalam. Mungkin perasaan marah dan prihatin yang dirasakan ketua cukup mewakili perasaan kami sebagai sesama kader. Sore itu, setelah acara Rakerwil; yang tentu saja menguras tenaga dan pikiran selama beberapa minggu terakhir; ketua buru-buru mengajak saya untuk menjenguk Pipit, sapaan akrab Suci Afitriyani jauh-jauh ke Jakarta. Meski sudah memiliki beberapa jadwal ke luar kot, akhirnya saya urungkan. Saya bisa mengerti betul perasaan ketua, apalagi Pipit, sebagaimana halnya ketua sama-sama berasal dari Brebes. Jadilah, sore itu saya, bersama rekan Ferial Farkhan (Ketua PW IPNU Jateng), Sri Nur Ainingsih (Ketua PW IPPNU Jateng) dan beberapa pengurus meluncur ke Jakarta.

Di dalam perjalanan pun ketua, sempat bercerita panjang lebar terkait kenangannya tentang Pipit.

“Pipit ini pernah menjadi ketua Komsat (Komisariat) dan ketua Ranting IPPNU di Kecamatan Songgom Kabupaten Brebes. Saya kenal Pipit sejak lama. Dia ini kader yang militan”, kenang beliau.

“PW IPNU IPPNU Jateng mengecam keras tindakan teror tersebut.  Apapun motifnya,  itu adalah perilaku yang terkutuk yang dilarang oleh agama maupun hukum negara.  Kami menuntut pemerintah untuk bisa menguak pelaku teror tersebut.  Dan kedepan pemerintah harus lebih tanggap dalam persoalan seperti ini.  Lebih tegas kepada kelompok-krlompok yang berpotensi untuk melakukan  perilaku teror.”, terangnya ketika saya mintai pendapatnya selaku orang nomer satu di IPNU Jateng terkait tindak radikalisme yang akhir-akhir ini semakin tidak bertanggung jawab.

Begitu sampai di Jakarta, kami segera menjenguk Pipit. Pipit sendiri kini masih di rawat di RS Budhi Asih Jakarta Timur untuk menjalani proses pemulihan.  Kondisinya semakin baik,  dan sudah bisa diajak berbicara dan mulai mencoba menggerakkan anggota tubuh nya setelah kemarin tak berdaya.  Semua impusnya kini sudah mulai dicopot.  Tinggal menambah waktu istirahat nya untuk kembali benar-benar pulih. Dia juga bercerita bahwa sejak kemarin banyak yang menjenguknya untuk memberikan dukungan. Tentu itu merupakan dukungan moril yang luar biasa.

Dalam obrolan hangat itu, ia menyampaikan unek-unek dalam hatinya terhadap tragedi bom yang menimpanya. Kekecewaan terhadap orang-orang yang melakukan aksi teror membuatnya sedih atas kejadian tersebut.

“Jika mereka melakukan itu atas dasar pemahaman agama yang salah,  saya sangat sedih dan tak ingin ini terjadi lagi.  Semoga pemerintah bisa memberantas pelaku teror itu dengan cepat sebelum mereka memberantas kita.” Kata Pipit.

“Bagaimanapun, tidak boleh ada lagi orang-orang tak bersalah menjadi korban hanya karena nafsu, apalagi atas nama agama. Agama seharusnya membawa kita kepada pentingnya perdamaian dan hidup berdampingan. Perdamaian akan membawa kita semua kepada kehidupan yang lebih baik.” tambah Pipit.

Meski baru saja mengalami kejadian yang tidak biasa dalam hidupnya, Pipit tetap tampak tegar. Mohon doanya dari semua agar Pipit bisa cepat diberi kesembuhan oleh Allah SWT.  Amin.

Mari lanjutkan gotong royong kita melawan radikalisme. Jangan sampai ada korban tidak bersalah lagi. (Hasan/AW)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...