Langsung ke konten utama

Demi Ngaji ke Gus Mus, Ngontel Kediri-Rembang

Sepeda pancal yang dilengkapi bendera Pesantren Lirboyo dan Merah Putih yang dikendarai M Rizki Wahyudin (22) di kompleks Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh Rembang. (Foto: Wahyu Salvana)
Rembang, santrionline
Jarum jam menunjukkan pukul 08.00 WIB ketika seorang santri dari Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur bernama M Rizki Wahyudin (22) mulai mengayuh sepeda pancalnya menuju Rembang, pada Jumat 26 Mei 2017.

Berbekal uang saku Rp15.000, remaja bersapaan akrab Wahyu, memantapkan diri bertarung dengan terik matahari untuk mewujudkan kehendaknya, mengaji kepada sang idola, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus di Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh.

Bagi dia yang kelahiran Lampung Selatan pada 4 Juni 1995, bersepeda jauh, bukan hal baru. Namun cukup sejauh Kediri-Jombang. Sementara ngontel dengan jarak sekitar 227 kilometer ke Rembang, baru kali ini dilakoni. Terlebih dengan bekal seadanya.

“Saya ngefans dengan Gus Mus dan Mbah Moen (KH Maimoen Zubair, Sarang). Sulit mencari ulama seperti beliau dalam hal berdiri tegak di tengah kelompok kanan dan kiri,” kata Wahyu kepada mataairradio.com, setelah sampai di Leteh, Senin (29/5/2017) dini hari.

Ia yang Kelas II Tsanawiyah di Lirboyo sempat mengontak orang tuanya di Lampung Selatan, sebelum berangkat ke Rembang. Berpamitan dan meminta tambahan kiriman uang saku. Izin dikantongi, tapi permintaan keduanya tak langsung dipenuhi.

“Santri di Lirboyo bebas mengaji kemana ketika libur Tsanawiyah. Begitu mantap, saya sowan ke kiai bareng teman-teman. Sempat kontak juga orang tua. Pamit dan minta uang saku, tapi nggak langsung dikirim. Akhirnya tetap berangkat dengan bekal Rp15.000,” katanya.

Bagi remaja Kampung Merambung Kecamatan Penengahan ini, bekal utama di kehidupan ini adalah keyakinan. Yakin atas kuasa Allah. Maka dari itu, ia pun makin mantap menggenjot pedal sepedanya, hingga pukul 10.00 WIB, tiba dirinya di Tambakberas, Jombang.

“Jam 8 pagi saya berangkat dari Lirboyo. Dua jam perjalanan bersepeda secara santai, jam 10 sampai Jombang. Saya Salat Jumat di Masjid Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Sekitar jam 2 siang saya berangkat lagi ke arah Babat Lamongan,” tuturnya.

Hujan deras mengiringi kayuhan ontel sepeda Wahyu menuju Babat yang diarunginya dalam tujuh jam. Meski bermantel, ia menyatakan merasa kedinginan. Pukul 21.00 WIB, ia mampir di sebuah warung nasi di Babat untuk membungkus bekal makanan buat sahur.

“Tetapi akhirnya menginap di tempat teman komunitas sepeda. Dikasih makan. Saya bermalam hingga sahur. Pukul 08.00 WIB, saya baru mulai mengontel lagi meninggalkan Babat. Iya, dalam kondisi puasa,” tuturnya.

Setelah sekitar dua jam lebih perjalanan, ia sampai di Tuban. Ia beristirahat di Masjid Agung Tuban sebelum kemudian berziarah di Makam Sunan Bonang di Tuban. Wahyu mengaku baru melanjutkan lagi perjalanan dari Tuban menuju Rembang pada sekitar pukul 15.00 WIB.

“Saya lalu mengayuh lagi sepeda ontel ini menuju Sarang. Sempat istirahat di RM Simpang Raya untuk buka puasa. Tak disangka, alhamdulilLah diberi kemurahan setelah sang pemilik tahu sepeda saya dan tanya-tanya ke saya. Jam 7 malam saya bergerak lagi dan sampai Sarang jam 10 malam hari Sabtu,” terangnya.

Sesampainya di Sarang, ia bertemu dengan sesama teman santi dari Lirboyo. Hatinya saat itu mulai berbunga, setelah mendapat kabar bisa sowan ke Mbah Moen pada keesokan hari usai Salat Asar, dan akhirnya bisa bertemulah Wahyu dengan ulama sepuh tersebut.

“Mbah Moen ini dahulu mengaji, nyantri juga di Lirboyo. Mbah Moen bahkan pernah ketemu dengan generasi 1910, atau awal pendiri Lirboyo, Jadi secara sanat keilmuwan, dekat dengan para pendahulu. Namun pada Puasa tahun ini saya ingin mengaji kepada Gus Mus, yang juga alumnus Lirboyo,” katanya.

Selepas berbuka Puasa dan Salat Magrib, alumnus MAN Pandeglang Banten tahun 2013 ini kembali melanjutkan perjalanan ke Rembang, dalam guyuran hujan. Baru sampai di Lasem, ia sempat mengira sudah tiba di Rembang, lantaran sistem pemandu arah di genggamannya menunjukkan rujukan berbeda.

“Sempat bingung karena GPS di ponsel saya menunjukkan arah yang berbeda yaitu arah Blora. Tapi saya tanya sopir di dekat MAN Lasem dan diarahkan untuk menuju Alun-alun Rembang yang jaraknya sekitar 12-13 kilometer dari sini,” kata remaja yang baru tiga tahun ini mondok di Lirboyo. Hingga akhirnya sekitar pukul 03.00 dini hari Senin, 29 Mei 2017, ia mencapai Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang. Di tasnya berisi beberapa potong pakaian, matras, kompor, dan kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Ghozali yang diajarkan Gus Mus pada Ramadan 1438 Hijriah ini. “Sepeda ontel ini milik teman, yang alhamdulillah boleh saya pinjam. Katanya, sepeda ini bikinan Swiss. Iya sengaja saya kasih bendera Lirboyo dan Merah Putih. Biar kelihatan kalau saya perjalanan jauh serta lambang cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus untuk mengenalkan Lirboyo,” katanya.

Di Rembang, ia berniat mengaji kitab tersebut kepada Gus Mus sampai hatam. Seusainya nanti, ia akan kembali pulang ke Lirboyo. Namun petualangannya ini belum kelar karena tekadnya mengaji juga kepada Habib Lutfi Pekalongan, Mbah Dim Kaliwungu, dan Mbah Moen Sarang, di kesempatan mendatang.

“InsyaAllah pulang juga akan bersepeda. Jika menurut survei orang bersepeda itu bahagia, maka survei itu benar. Saya merasakan. Soal mengaji, pesantren adalah pilihan terbaik. Sebab akan kita dapatkan ilmu agama yang murni. Dengan begitu, paham-paham radikal dan menyimpang, akan tertolak sendirinya,” pungkasnya.

Penulis: Pujianto
Editor: Pujianto
Sumber:mataairradio.com

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah sejak 1852 M

Jawa Timur.Santrionline - Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah merupakan Pesantren yang didirikan Mbah Busyro Al Khafi yang waktu mudanya belajar selama 17 tahun di Mekah. Pendiri Pesantren ini merupakan ayahnya Mbah Soleh yang mempunyai istri yang bernasab dengan Mbah Maimoen di Pesantren Al Anwar Sarang Rembang. Pesantren ini sudah mempunyai sekolah Formal, tapi tetap menjaga tradisi baca kitab turost dengan membangun Pesantren Kidul di sebelah selatan pesantren. Kiai Abdul Azis yang ditemui suarapesantren.net pada 29 Maret 2016 mengungkapkan bahwa dirinya meneruskan memimpin Pondok Kidul yang merupakan cabang dari Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah di Beji Jenu Tuban Jawa Timur. Pesantren yang terletak di jalur Pantura Tuban ini disebelah Barat yang juga disebut sebagai Pondok Kidul atau sebelah Selatan, sedang pusatnya di sebelah Utara. Dalam bangunan klasik yang terbuat dari kayu berpilar empat itu, tertulis tahun 1852 Masehi di mana tempat itu merupakan tempat penga

Perkawinan Dimata Gus Mus

Perkawinan itu pertemuan dua hal yang berbeda sekali. Ia tidak seperti perbedaan dua hal antar suku, atau antar Negara. Kedua yang terakhir ini lebih banyak jalan menjembataninya untuk bisa damai. Tetapi perbedaan dalam perkawinan adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Relasi suami isteri dalam rumah tangga tidak selalu indah, tidak selamanya membahagiakan, tidak selama damai. Selalu saja ada masa sulit, pertengkaran, percekcokan dan seterusnya. Menyelesaikannya tidak mudah, perlu hati-hati sekali. Paling-paling hanya tiga bulan saja masa-masa indah itu. Selebihnya bergelombang-gelombang. Orang bilang bahwa perempuan itu lemah, dan laki-laki itu kuat. Ini tak sepenuhnya benar, Kita coba saja laki-laki untuk membawa beras enam kilogram secara terus menerus, berjam-jam, berhari-hari dan berbulan-bulan. Satu atau dua jam mungkin bisa, tetapi terus menerus tanpa henti?. Apakah sanggup?. Saya kira tak ada. Laki-laki, suami, biasanya mengaku cepat lelah. Ia lebih suka duduk sambil

Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Ketika Didzalimi Dibalas Dengan Menyayangi

Keterangan foto: Yang sedang naik becak adalah al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang dan al-Habib Ali bin Husein Alattas Bungur Santrionline- Suemdang, Dahulu di masa al-Habib Ali al-Habsyi Kwitang masih hidup, ada seseorang yang sangat membencinya dan orang itu tinggal di Kwitang. Kelakuan orang itu terhadap al-Habib Ali al-Habsyi sunggah tidak terpuji. Bila lewat di hadapannya dengan sengaja meludah di depan al-Habib Ali al-Habsyi, sampai-sampai membuat marah para murid al-Habib Ali al-Ha bsyi. Hingga suatu saat, al-Habib Ali al-Habsyi memberikan jatah sembako berupa beras kepada orang itu. Dengan memanggil muridnya, al-Habib Ali al-Habsyi memerintahkan agar beras itu diberikan kepada orang itu. Hal ini membuat bertanya-tanya sang murid. Namun belum sempat ditanyakan, al-Habib Ali al-Habsyi berkata: “Berikan ini, tapi jangan bilang dari saya. Bilang saja dari kamu.” Lebih dari 2 tahun orang itu menikmati jatah sembako yang diberikan al-Habib Ali al-Habsyi kepadanya melalui p