Pada tanggal 24 Februari lalu Buya Said Aqil(panggilan akrab santrinya) meluangkan waktunya untuk ngaji bersama santri-santrinya lagi. Dan pada pertemuan kali ini beliau meneruskan pembahasan dari pertemuan sebelumnya terkait dengan tafsir surat al-fatihah. Namun dalam pembahasan kali ini, beliau lebih menitik beratkan dalam pembahasan ibadah yang sifatnya individu dan sosial.
Diawal kyai said menjelaskan tentang makna literal dari ayat إياك نعبد. Hanya kepadaMu kami menyembah, tidak ada Tuhan selainMu yang berhak untuk disembah & hanya kepadaMu kami beribadah. Semua Ibadah yang kita lakukan harus selalu kita niatkan karenaNya. Ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua, ada Ibadah Mahdhoh (murni) dan Ghoiru Mahdoh ( tidak murni ). Ibadah Mahdhah, merupakan penghambaan yang murni, hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung. Dan ibadah bisa diklasifikasikan sebagai ibadah mahdhoh ketika :
– keberadaanya harus berdasarkan dalil perintah
– tatacaranya harus berpola ke Rasulallah
– bersifat supra Rasional
– azasnya “taat”
Contohnya seperti solat, puasa Dll. Begitu juga Ibadah Ghairu Mahdhah. Ibadah ghoiru mahdhoh (tidak murni semata hubungan dengan Allah) yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya seperti menafkahi keluarga, menuntut ilmu, dan pekerjaan lainya yang sifatnya sosial yang diniatkan karena Allah.
Gusdur adalah salah satu contoh yang paling layak untuk dijadikan gambaran sebagai manusia yang memiliki hubungan sosial yang sangat baik dengan keluarganya, santrinya dan masyarakatnya baik dengan sesama muslim ataupun bukan. Namun kyai Said lebih suka meng’Istilahkan’ dengan sebutan ‘Ibadah syakhsiyah dan ibadah ijtimaiyyah’.
Secara prinsip semua pekerjaan yang sifatnya sosial ketika diniatkan karena Allah maka memiliki nilai Ibadah, seperti pembangunan sekolah, baksos, zakat dan bahkan membubarkan aliran Islam Radikal pun kalau diniatkan karena Allah dan untuk kemaslahatan ummat maka sama memiliki nilai ibadah. Karena hal yang perlu dikedepankan dalam menjamin keamanan kita dalam beribadah adalah terjaminya lingkungan sosial kita, baik keamanannya, ketentramanya, Kerukunannya, kebersihanya dan lain sebagainya. Karena ibadah mahdhoh/ibadah syakhsiyyah tidak akan terlaksana kalau keamanannya, kedamaianya, kebersihanya, kerukunanya tidak terjamin.
Ayat selanjutnya adalah إياك نستعين, hanya kepada Allah kita meminta pertolongan. Esensi dari ayat ini adalah, bahwa Allah mengajarkan kita untuk selalu berikhtiyar terlebih dahulu dan setelahnya kita pasrahkan kepada Allah sebagai dzat yang maha segalanya..
قُلْ يَٰقَوْمِ ٱعْمَلُوا۟ عَلَىٰ مَكَانَتِكُمْ إِنِّى عَٰمِلٌ ۖ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui, (Az-Zumar 39:39). Sepertihalnya kita diperintahkan untuk belajar yang rajin, namun kerajinan itu tidak menjamin kita akan paham atau pintar, karena hasil dari belajar rajin itu adalah domainnya Alla, haknya Allah untuk meberikan kepahaman dan kepintaran atau tidak.
Begitu juga tentang hidayah. Hidayah adalah hak preogratif Allah yang akan diberikan kepada hambaNya yang dikehendaki saja. Oleh karena sebuah kewajiban bagi kita untuk selalu meminta petunjuk, jalan yang lurus dan hidayah kepada Allah SWT, seperti potongan surat al-fatihah
إهدنا الصراط المستقيم.
Tunjukkan kepada kami jalan yang lurus. Karena hanya engkaulah dzat yang maha menujukkan dan memberikan hidayah.
Ketika pamanya Nabi Muhammad, Abu Tholib dalam kondisi sakaratul maut beliau, NabiMuhammad berkali-kali memintanya untuk membaca kalimat syahadat dan meminta kepada Allah untuk memberinya khusnul khotimah, namun justru apa yang terjadi setelah itu? Allah justru menegurnya.
إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ ولاكن الله يهدي من يشاء
Wahai Muhammad engkau tidak bisa memberikan hidayah bagi orang-orang yang engkau sukai, karena Allah akan memberikan hidayah bagi mereka yang Allah kehendaki.
Esensi dari ayat diatas bahwa Nabi Muhammad sendiri tidak mampu untuk memastikan pamanya memeluk agama Islam, apalagi kita yang tidak semulya Nabi Muhammad sungguh sanggat hina ketika memaksa orang untuk memeluk agama Islam, apalagi menjaminya masuk neraka.
Mari kita beragama dengan santun, dengan sopan, dengan lembut baik dengan sesama Muslim atau non muslim sekalipun, karena ibadah bukan hanya ibadah syakhsiyah saja namun ibadah ijtimaiyyah pun bernilai ibadah.
Nizar Idris
Santri al-Tsaqofah.
Diawal kyai said menjelaskan tentang makna literal dari ayat إياك نعبد. Hanya kepadaMu kami menyembah, tidak ada Tuhan selainMu yang berhak untuk disembah & hanya kepadaMu kami beribadah. Semua Ibadah yang kita lakukan harus selalu kita niatkan karenaNya. Ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua, ada Ibadah Mahdhoh (murni) dan Ghoiru Mahdoh ( tidak murni ). Ibadah Mahdhah, merupakan penghambaan yang murni, hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung. Dan ibadah bisa diklasifikasikan sebagai ibadah mahdhoh ketika :
– keberadaanya harus berdasarkan dalil perintah
– tatacaranya harus berpola ke Rasulallah
– bersifat supra Rasional
– azasnya “taat”
Contohnya seperti solat, puasa Dll. Begitu juga Ibadah Ghairu Mahdhah. Ibadah ghoiru mahdhoh (tidak murni semata hubungan dengan Allah) yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya seperti menafkahi keluarga, menuntut ilmu, dan pekerjaan lainya yang sifatnya sosial yang diniatkan karena Allah.
Gusdur adalah salah satu contoh yang paling layak untuk dijadikan gambaran sebagai manusia yang memiliki hubungan sosial yang sangat baik dengan keluarganya, santrinya dan masyarakatnya baik dengan sesama muslim ataupun bukan. Namun kyai Said lebih suka meng’Istilahkan’ dengan sebutan ‘Ibadah syakhsiyah dan ibadah ijtimaiyyah’.
Secara prinsip semua pekerjaan yang sifatnya sosial ketika diniatkan karena Allah maka memiliki nilai Ibadah, seperti pembangunan sekolah, baksos, zakat dan bahkan membubarkan aliran Islam Radikal pun kalau diniatkan karena Allah dan untuk kemaslahatan ummat maka sama memiliki nilai ibadah. Karena hal yang perlu dikedepankan dalam menjamin keamanan kita dalam beribadah adalah terjaminya lingkungan sosial kita, baik keamanannya, ketentramanya, Kerukunannya, kebersihanya dan lain sebagainya. Karena ibadah mahdhoh/ibadah syakhsiyyah tidak akan terlaksana kalau keamanannya, kedamaianya, kebersihanya, kerukunanya tidak terjamin.
Ayat selanjutnya adalah إياك نستعين, hanya kepada Allah kita meminta pertolongan. Esensi dari ayat ini adalah, bahwa Allah mengajarkan kita untuk selalu berikhtiyar terlebih dahulu dan setelahnya kita pasrahkan kepada Allah sebagai dzat yang maha segalanya..
قُلْ يَٰقَوْمِ ٱعْمَلُوا۟ عَلَىٰ مَكَانَتِكُمْ إِنِّى عَٰمِلٌ ۖ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui, (Az-Zumar 39:39). Sepertihalnya kita diperintahkan untuk belajar yang rajin, namun kerajinan itu tidak menjamin kita akan paham atau pintar, karena hasil dari belajar rajin itu adalah domainnya Alla, haknya Allah untuk meberikan kepahaman dan kepintaran atau tidak.
Begitu juga tentang hidayah. Hidayah adalah hak preogratif Allah yang akan diberikan kepada hambaNya yang dikehendaki saja. Oleh karena sebuah kewajiban bagi kita untuk selalu meminta petunjuk, jalan yang lurus dan hidayah kepada Allah SWT, seperti potongan surat al-fatihah
إهدنا الصراط المستقيم.
Tunjukkan kepada kami jalan yang lurus. Karena hanya engkaulah dzat yang maha menujukkan dan memberikan hidayah.
Ketika pamanya Nabi Muhammad, Abu Tholib dalam kondisi sakaratul maut beliau, NabiMuhammad berkali-kali memintanya untuk membaca kalimat syahadat dan meminta kepada Allah untuk memberinya khusnul khotimah, namun justru apa yang terjadi setelah itu? Allah justru menegurnya.
إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ ولاكن الله يهدي من يشاء
Wahai Muhammad engkau tidak bisa memberikan hidayah bagi orang-orang yang engkau sukai, karena Allah akan memberikan hidayah bagi mereka yang Allah kehendaki.
Esensi dari ayat diatas bahwa Nabi Muhammad sendiri tidak mampu untuk memastikan pamanya memeluk agama Islam, apalagi kita yang tidak semulya Nabi Muhammad sungguh sanggat hina ketika memaksa orang untuk memeluk agama Islam, apalagi menjaminya masuk neraka.
Mari kita beragama dengan santun, dengan sopan, dengan lembut baik dengan sesama Muslim atau non muslim sekalipun, karena ibadah bukan hanya ibadah syakhsiyah saja namun ibadah ijtimaiyyah pun bernilai ibadah.
Nizar Idris
Santri al-Tsaqofah.
Komentar
Posting Komentar