Persidangan Ahok yang menghadirkan Rais 'Amm PBNU masih menyisakan luka bagi Nahdliyyin. Tepatnya luka yang tetap menggunakan logika bukan hanya nafsu belaka. Saya lebih senang untuk menuliskan sesuatu yang dapat kita ambil faidah bersama ketimbang yang dapat menambah konflik makin bertambah. Dan tulisan ini dari hasil pencermatan saya selama beberapa kali mengamati pemberitaan terkait persidangan kasus Ahok tanggal 31 Januari 2017 kemarin. Dari sekian part, part inilah yang membuat saya tertarik untuk menyelami makna yang tersirat didalamnya. Sekaligus part inilah yang menjadi alasan adanya responsif pergerakan dari Nahdliyyin yang sempat heboh kemarin.
===============
Humphrey : Saya ingin menanya apakah ada pada hari Kamis sehari sebelum anda bertemu paslon AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) dan Sylvi (Sylviana Murni), anda menerima telpon dari pak SBY pukul 10.16 (WIB) yang menyatakan adalah untuk mengatur agar pak Agus dan Sylvi diterima di kantor PBNU dan kedua untuk segera mengeluarkan fatwa terkait kasus penistaan agama yang dilakukan oleh pak BTP (Ahok), ada atau tidak?
Yai Ma'ruf : Tidak.
Humphrey : Sekali lagi ada atau tidak?
Yai Ma'ruf : Tidak.
Humphrey : Hakim, sudah ditanyakan berulang kali jawabannya sama, untuk itu kami akan berikan bukti.
(Hening)
Humphrey : Ya majelis hakim, andai kata kami telah memberikan buktinya dan ternyata keterangan tidak sama, kami mau menyatakan bahwa saksi ini memberikan keterangan palsu dan ingin diproses sebagaimana mestinya.
===============
Ini sungguh pertanyaan trap (jebakan) yang sangat berkualitas, jenius, dan cerdas dari seorang Humphrey, pengacara Ahok. Tapi sayangnya Humphrey tidak mengerti bahwa yang sedang ingin dia jebak adalah seorang Aristoteles abad 20. Kenapa saya sebut Yai Ma'ruf sebagai Aristoteles -sang pelopor Ilmu Manthiq (logika)- abad 20?
Sebab hanya orang-orang yang mempunyai daya nalar tingkat tinggi yang dapat lepas dalam permainan kata seperti yang dilakukan Humphrey diatas.
Humphrey mencoba mengelabuhi Yai Ma'ruf dengan beberapa komponen yang dikemas didalam sebuah kekolektifan. Jika kita pecah pertanyaan Humphrey setidaknya ada 3 komponen,
1. Saya ingin menanya apakah ada pada hari Kamis sehari sebelum anda bertemu paslon AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) dan Sylvi (Sylviana Murni), anda menerima telpon dari pak SBY pukul 10.16 (WIB),
2. Yang menyatakan adalah untuk mengatur agar pak Agus dan Sylvi diterima di kantor PBNU,
3. Dan kedua untuk segera mengeluarkan fatwa terkait kasus penistaan agama yang dilakukan oleh pak BTP (Ahok), ada atau tidak?
Sebenarnya yang digunakan untuk menjadi ranjau Humphrey ialah komponen nomer 3, tetapi Humphrey berusaha untuk menggiring Yai Ma'ruf agar fokus pada komponen atau kalimat pertama yang notabenenya sudah diketahui proposisi kebenarannya, (apakah ada pada hari Kamis sehari sebelum anda bertemu paslon AHY dan Sylvi, anda menerima telpon dari pak SBY pukul 10.16). Jadi, disini Humphrey berharap agar Yai Ma'ruf menjawab 'Iya' (dengan kepastian bahwa memang ada telpon dari SBY kepada Yai Ma'ruf seperti sudah diketahui oleh khalayak umum) yang nantinya digunakan untuk dimasukan kedalam ranjau komponen nomer 3. Namun disini Yai Ma'ruf sangat cerdas dalam menggunakan idzarakat kulliyah (pemahaman secara menyeluruh). Jika beliau fokus pada komponen pertanyaan pertama, pasti beliau menjawab 'Iya'. Tapi beliau cukup jeli dalam membedah pertanyaan Humphrey tersebut, karena ada dua Qadhiyah (proposisi) yang segi kaifnya (positif negatif) saling Tanaqudh (kontradiksi), yaitu komponen atau proposisi pertama dan ketiga. Sampai disini akan timbul sebuah Qiyas Istisna' (silogisme hipotesis), yaitu proposisi yang berisi perangkat Istidrak (ucapan susulan untuk memastikan ketetapan atau ketiadaan) yang jika Yai Ma'ruf terjebak dalam pertanyaan Humphrey. Sehingga akan menimbulkan kurang lebih kalimat:
"Ketika SBY menelpon Yai Ma'ruf, maka SBY memerintahkan Yai Ma'ruf untuk mengeluarkan fatwa terkait kasus penistaan agama".
Namun sayangnya Humphrey gagal dalam menjebak Yai Ma'ruf. Mungkin seharusnya Humphrey melakukan riset sebelum melakukan trap kata untuk mengetahui bahwa seorang santri atau mantan santri (dalam hal ini Yai Ma'ruf) tidak hanya belajar tentang fiqh sehingga mudah dibohongin. (Rfr)
Komentar
Posting Komentar