Langsung ke konten utama

Wasekjen PBNU Kenakan Sarung saat Jalani Sidang Doktoral di UI



Jakarta, SANTRIONLINE

Pemandangan tidak biasa terlihat ketika Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PBNU H Ulil Abshar melaksanakan Sidang Terbuka Doktoralnya di Universitas Indonesia (UI), Senin (9/1). Ia mengenakan sarung dipadu dengan peci dan jas ketika memaparkan isi disertasinya di hadapan para penguji di sebuah mimbar.

Sarung dan peci bagi warga NU memang sudah terbiasa sebagai identitas kultural yang telah mengglobal. Menjadi sesuatu yang tidak biasa karena selama ini ritual sakral penganugerahan Doktor di UI memakai setelan formal seperti dasi, jas, kemeja, dan celana panjang.

Ulil yang juga aktif mengasuh Rubrik Keislaman di NU Online ini ingin meneguhkan identitas kultural Islam Indonesia saat penganugerahan gelar Doktornya. Baginya, praktik peneguhan identitas budaya tersebut sesuai dengan semangat pengembangan keilmuan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI.

Dibawah Promotor Dr Muhammad Luthfi, Kopromotor I Prof Dr Sapardi Djoko Damono, dan Kopromotor II Dr Tommy Christomy, pria kelahiran Pati Jawa Tengah itu berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Makna dan Fungsi Hizib di Pesantren: Analisis Teks dan Konteks atas Hizib Karya Asy-Syadzili untuk memperoleh gelar Doktor Ahli Sastra Arab di UI.

Hadir dalam sidang yang berlangsung di Ruang 4101 (Auditorium Gedung IV) lantai 1 FIB UI Depok ini di antaranya, Ketua KPU RI yang juga salah satu Ketua PBNU H Juri Ardiantoro, Direktur NU Online dan Nutizen Savic Alielha, Pemred NU Online Achmad Mukafi Niam, mantan Ketua LTN PBNU periode lalu Khotibul Umam Wiranu, sejumlah pejabat PBNU, kolega, dan sahabat.

“Ya, ini baru pernah terjadi di UI seorang Promovendus mempertahankan disertasinya dalam sidang dengan pakai kain sarung,” ujar Khotibul Umam Wiranu dalam akun twitter pribadinya @Khotibul_UmamWr, Senin (9/1) menjawab pertanyaan salah satu Netizen.

Senada, Juri Ardiantoro juga tertarik dengan gaya Ulil Abshar yang selama ini belum pernah terjadi di sidang Doktor, yakni sidang dengan mengenakan sarung.

“Selamat Gus Ulil Abshar (yg bkn Abdalla) atas anugerah Doktornya. Semoga maslahah. Tampilannya tetap santri. Top,” cuit @juriardiantoro.

Selain aktif menjadi Wasekjen PBNU, saat ini Ulil Abshar juga menjadi salah satu pengajar tetap di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia juga aktif mengisi kuliah di Pascasarjana Islam Nusantara STAINU Jakarta. (Fathoni)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...