Langsung ke konten utama

Muslims And The Birth Of Jesus Christ (Muslim Dan Kelahiran Yesus Kristus)

Oleh Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al-Jufri

When the Prophet Muhammad migrated to Madina he was surprised to find the Jewish community fasting on a day known as ‘Ashura’, which fell in the Arabic (later Islamic) month of Muharram. During his life in Makkah, the Prophet used to observe a fast on this day. When he asked them why they fast on this day, the Jewish community replied that it was in celebration of Moses’ deliverance from Pharoah. The Prophet told his community that they too were believers in Moses and were deserving of commemorating the momentous occasion of his deliverance. Without questioning the authenticity of the date, despite the Hebrew calendar being different to the Arabic, the Prophet accepted their reason and instructed his community to observe the fast too. Acknowledging a sacred event is not related to the time of its happening as much as it is related to its meaning, which is to celebrate it in joy of God’s favours and love for the righteous.
Maintaining a connectedness to religious occasions that are intimiately tied to sacred symbols is common in Islam and deeply connected to faith. Hajj, the annual pilgrimage, is the fifth pillar of Islam and replete with these meanings. For example, the circumambulation of a House built by Ibrahim and his son Ismail; the walking between Safa and Marwa where Hajar went on her search for water for her infant child; the throwing of stones in Mina where the devil tried to tempt Ibrahim away from sacrificing his son; and the ritual slaughter that marks the willingness of Ibrahim to sacrifice his son for God. This is the greatness of religious rituals; that they are forms imbued with profound meanings and not simply actions which are meant to be ritually repeated.
The Quran tell us: “And remind them of the days of God; indeed, in them are signs for those who are forbearing and grateful.” As we approach the occasion of Jesus Christ’s birth, we feel that we are confronted with a day from among the ‘days of God’. This day was distinguished by an immense miracle related to his birth. This birth was connected to meanings of peace that we are in dire need of today.
Yes, God made Jesus Christ a symbol of peace for this world.
Did the Quran not inform us of Christ’s words, “Peace was upon me the day I was born, and will be on me the day I shall die, and the day I am raised to life again.”? These words alone are sufficient enough as a reason for our joy on this noble occasion, irrespective of its exact date and the differing opinions that exist among Christian denominations. The birth of Jesus Christ is less about the precise date and more about the meaning embodied in his emergence into this world.
I offer my greetings to the Prophet Muhammad on the birth of Jesus Christ, who affectionaly described the son of Mary as his brother and said of him, “I have the best right to Jesus son of Mary in this world and the next.”
Likewise, I offer my greetings to Muslims, Christians and humanity at large on this blessed occassion.
And I say to Jesus Christ: my master, the spirit of God and His word, peace be upon you the day you were born, the day you shall die and the day you will be raised to life again. ( Via : http://m.huffpost.com/us/entry/us_585a5249e4b04d7df167cbd8? )

//Translate By Heikal Lazuardi

Ketika nabi muhammad hijrah ke Madinah Ia terkejut menemukan komunitas yahudi berpuasa dihari yang dikenal sebagai hari 'Asyura', yang jatuh pada bulan muharram. Selama hidupnya di Mekkah, Nabi mengamati puasa pada hari itu, ketika Ia bertanya mengapa mereka berpuasa pada hari ini, komunitas yahudi menjawab bahwa itu dilakukan dalam rangka merayakan pembebasan musa dari Fir'aun. Nabi mengatakan pada masyarakat Yahudi disana, bahwa mereka juga percaya pada musa dan layak memperingati peristiwa penting pembebasannya. Tanpa mempertanyakan keaslian tanggal, meskipun kalender ibrani berbeda dengan bahasa arab, Nabi menerima alasan mereka dan menginstruksikan untuk mengamati dan berpuasa juga. Mengakui acara sakral tidak berhubungan dengan waktu yang terjadi selama itu berkaitan dengan maknanya, yaitu untuk merayakan suka cita nikmat Allah dan cinta bagi orang yang bertaqwa.
Mempertahankan keterhubungan untuk acara-acara keagamaan yang begitu intim terikat simbol sakral adalah umum dalam islam dan sangat terhubung dengan Iman. Haji dan ziarah tahunan, adalah rukun Islam ke lima dan penuh dengan makna. Misalnya, pradaksina dari rumah yang dibangun oleh Ibrahim dan putranya Ismail; kemudian perjalanan antara safa dan marwah dimana Hajar melanjutkan pencarian air untuk anak bayinya; lempar batu di Mina dimana iblis mencoba menggoda Ibrahim agar jauh dari mengorbankan anaknya; dan ritual penyembelihan yang menandai kesediaan Ibrahim untuk mengorbankan anaknya untuk tuhan. Ini adalah kebesaran ritual keagamaan; bahwa mereka adalah bentuk dari jiwa dan makna yang mendalam dan tidak hanya tindakan yang dimaksudkan untuk ritual yang berulang.
Quran memberitahu kita : "Dan mengingatkan mereka pada hari Allah; memang, diantaranya adalah tanda-tanda bagi orang-orang yg sabar dan bersyukur". Ketika kita mendekati kesempatan kelahiran Yesus Kristus, kita merasa bahwa kita dihadapkan dengan hari dari kalangan 'hari tuhan'. Hari ini dibedakan oleh keajaiban besar yang berkaitan dengan kelahirannya. Kelahiran ini terhubung ke makna perdamaian yang kita butuhkan hari ini.
Ya, Allah membuat Yesus Kristus sebagai simbol perdamaian bagi dunia ini.
Apakah Alquran tidak menginformasikan kepada kita tentang kata-kata Yesus Kristus, "Perdamaian adalah hari dimana aku dilahirkan, hari ketika aku wafat, dan hari dimana aku dibangkitkan kembali". Kata-kata ini saja sudah cukup memadai sebagai alasan untuk suka cita kita pada kesempatan yang mulia ini, terlepas dari tanggal yang tepat dan perbedaan pendapat yang ada diantara dominasi Kristen. Kelahiran yesus kristus adalah kurang tentang tanggal yang tepat, dan lebih lanjut, ini tentang makna yang terkandung dalam kemunculannya ke dunia ini.
Saya menawarkan salam saya kepada Nabi Muhammad pada kelahiran Yesus Kristus, yang afeksional menggambarkan anak Maria sebagai saudaranya dan tentang sabda Nabi; "Saya memiliki hak kepada Isa putra Maryam di dunia dan di akhirat".
Demikian juga, saya menawarkan salam saya untuk umat Muslim, Kristen dan umat manusia pada umumnya pada kesempatan yang diberkati ini.
Dan saya berkata kepada Yesus Kristus: Tuanku, roh tuhan dan firmanNya, damai anda di hari anda dilahirkan, hari anda akan wafat dan hari dimana anda dibangkitkan kembali. (Rois Faisal .R)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...