Langsung ke konten utama

Kisah Kyai Bisri Rembang dan Mbah Hamid Pasuruan

Mungkin sebagian orang memandang hina kepada Kyai yng mengharapkan amplop dari ceramah pengajiannya. Tapi Mbah Kyai Bisri berprinsip bahwa ia berhak atas amplop itu.

“Aku punya tanggungan santri di rumah”, katanya,
“kalau kutinggal pergi, aku rugi tidak mengajar mereka”.
......
Suatu ketika setelah sampai di rumah dari pengajian di tempat jauh, kedapatan amplop panitianya cuma berisi Rp 10.000,. Kiyai Bisri pun menyuruh Murtadlo, khadamnya, mendatangi panitia dengan bekal surat tagihan rinci:
Sewa mobil: Rp 10.000,-
Bensin    : Rp 10.000,-
Upah sopir: Rp  2.500,-
Ongkos Murtadlo: Rp  2.000,-
Isi amplop: Rp 10.000,-
Kekurangan: Rp 14.500,-.

Tapi namanya prinsip, biasanya tidak tanpa pengecualian.
Usai pengajian di Pesantren Salafiyah Pasuruan atas undangan Mbah Kyai Hamid, Kiyai Bisri tidak sampai hati menagih amplop. Padahal ia tak mau rugi.
Ia amati baju yang dipakai Mbah Hamid dengan mimik tertarik sekali.

“Bajumu kok bagus sekali, ‘Nda!” katanya.
Mbah Hamid mesem lalu masuk ke kamar. Baju yang dipakai itu dilepas dan dibungkus untuk diberikan kepada Kiyai Bisri. Walaupun tanpa amplop, Kiyai Bisri puas membawa pulang baju itu.

Beberapa waktu kemudian, Kiyai Bisri memanggil Pak Kusnan, seorang santri kalong yang kaya, tinggal di Jepon, Blora. Pak Kusnan itu santri yang patuh sekali. Apa pun kata kiyai, ia turuti.
“Kamu mau beli baju ini, Kang?” Mbah Bisri menunjukkan baju pemberian Mbah Hamid.
“Nggih”.
“Wani piro?”
“Saya bawa 30 ribu”.
“Ya sudah sini. Nih… pakai sekarang!”
Pak Kusnan menyerahkan uang dan langsung memakai baju itu.
“Sekarang, ayo ikut aku!”
Mbah Bisri membawa Pak Kusnan ke Pasuruan menemui Mbah Hamid.
“Bajumu kok bagus sekali, Kang?” Mbah Kyai Hamid menyapa Pak Kusnan –Mbah Bisri berlagak tak punya urusan,
“berapa harganya?”
“30 ribu”.
Mbah Hamid pun langsung menoleh kepada Kiyai Bisri,
“Susuk limang ewu, ‘Nda!” katanya.

(teronggosong).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah sejak 1852 M

Jawa Timur.Santrionline - Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah merupakan Pesantren yang didirikan Mbah Busyro Al Khafi yang waktu mudanya belajar selama 17 tahun di Mekah. Pendiri Pesantren ini merupakan ayahnya Mbah Soleh yang mempunyai istri yang bernasab dengan Mbah Maimoen di Pesantren Al Anwar Sarang Rembang. Pesantren ini sudah mempunyai sekolah Formal, tapi tetap menjaga tradisi baca kitab turost dengan membangun Pesantren Kidul di sebelah selatan pesantren. Kiai Abdul Azis yang ditemui suarapesantren.net pada 29 Maret 2016 mengungkapkan bahwa dirinya meneruskan memimpin Pondok Kidul yang merupakan cabang dari Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah di Beji Jenu Tuban Jawa Timur. Pesantren yang terletak di jalur Pantura Tuban ini disebelah Barat yang juga disebut sebagai Pondok Kidul atau sebelah Selatan, sedang pusatnya di sebelah Utara. Dalam bangunan klasik yang terbuat dari kayu berpilar empat itu, tertulis tahun 1852 Masehi di mana tempat itu merupakan tempat penga

Perkawinan Dimata Gus Mus

Perkawinan itu pertemuan dua hal yang berbeda sekali. Ia tidak seperti perbedaan dua hal antar suku, atau antar Negara. Kedua yang terakhir ini lebih banyak jalan menjembataninya untuk bisa damai. Tetapi perbedaan dalam perkawinan adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Relasi suami isteri dalam rumah tangga tidak selalu indah, tidak selamanya membahagiakan, tidak selama damai. Selalu saja ada masa sulit, pertengkaran, percekcokan dan seterusnya. Menyelesaikannya tidak mudah, perlu hati-hati sekali. Paling-paling hanya tiga bulan saja masa-masa indah itu. Selebihnya bergelombang-gelombang. Orang bilang bahwa perempuan itu lemah, dan laki-laki itu kuat. Ini tak sepenuhnya benar, Kita coba saja laki-laki untuk membawa beras enam kilogram secara terus menerus, berjam-jam, berhari-hari dan berbulan-bulan. Satu atau dua jam mungkin bisa, tetapi terus menerus tanpa henti?. Apakah sanggup?. Saya kira tak ada. Laki-laki, suami, biasanya mengaku cepat lelah. Ia lebih suka duduk sambil

Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Ketika Didzalimi Dibalas Dengan Menyayangi

Keterangan foto: Yang sedang naik becak adalah al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang dan al-Habib Ali bin Husein Alattas Bungur Santrionline- Suemdang, Dahulu di masa al-Habib Ali al-Habsyi Kwitang masih hidup, ada seseorang yang sangat membencinya dan orang itu tinggal di Kwitang. Kelakuan orang itu terhadap al-Habib Ali al-Habsyi sunggah tidak terpuji. Bila lewat di hadapannya dengan sengaja meludah di depan al-Habib Ali al-Habsyi, sampai-sampai membuat marah para murid al-Habib Ali al-Ha bsyi. Hingga suatu saat, al-Habib Ali al-Habsyi memberikan jatah sembako berupa beras kepada orang itu. Dengan memanggil muridnya, al-Habib Ali al-Habsyi memerintahkan agar beras itu diberikan kepada orang itu. Hal ini membuat bertanya-tanya sang murid. Namun belum sempat ditanyakan, al-Habib Ali al-Habsyi berkata: “Berikan ini, tapi jangan bilang dari saya. Bilang saja dari kamu.” Lebih dari 2 tahun orang itu menikmati jatah sembako yang diberikan al-Habib Ali al-Habsyi kepadanya melalui p