Langsung ke konten utama

Debat, Wadah Menguji Integritas Seorang Calon Pemimpin

*Tulisan ini bukan sama sekali bentuk sebuah dukungan salah satu calon atau untuk mencederai satu calon lainnya.

Dewasa ini, euforia pilkada sedang menyelimuti Indonesia pertiwi. Dari berbagai daerah yang ada, Jakarta lebih terlihat memiliki panggung animo tersendiri. Entah sebab Jakarta adalah Ibu kota Indonesia, atau sebab faktor x yang sedang bereksistensi disana ?
Kondisi demikianlah yang menarik penulis untuk sedikit ingin bernari dengan pena.

Kelumrahan demokrasi yang ada di Indonesia, salah satunya ialah dengan selalu diadakannya forum debat antar calon pemimpin, baik yang diadakan oleh stasiun televisi swasta maupun oleh KPU sendiri. Dalam sejarahnya di tahun-tahun belakang, setiap calon ataupun wakil calon memanfaatkan momen ini sebagai ajang untuk meyakinkan masyarakat agar lebih mantap memilihnya dengan mengeluarkan argumen-argumen variatif bersamaan dengan menggerus kelemahan lawannya. Namun pada pilkada DKI 2017 ini ada yang cukup tidak biasa dipandangan kami. Satu dari 3 calon yang akan memimpin Jakarta tiba-tiba meruntuhkan sejarah tersebut. Dari sekian undangan forum debat yang dilayangkan oleh media-media swasta seolah-olah dihiraukan begitu saja dengan 'ketidak pernahan' beliau hadir dalam undangan tersebut. Yang sangat disayangkan lagi ialah ketika wakil dari calon tersebut menulis dalam twitnya yang berbunyi :
"Kita sedang memperkuat persatuan. Hindari perdebatan" (dengan latar gambar, "GUBERNUR RAKYAT, BUKAN GUBERNUR DEBAT").

What ???

Sebegitu antikah beliau dengan sebuah perdebatan ? Ataukah tak ada keberanian untuk datang ? Wallahu a'lam.

Stigma-stigma yang terlalu menganggap remeh akan forum debat seperti itu bagi penulis lah yang perlu untuk di tata ulang. Karena sejatinya forum debat cukup memiliki peran penting dalam menumpahkan keintelektualisan seseorang. Pun demikian, mengapa dalam salah satu fan ilmu terdapat ilmu yang membahas ruang lingkup akan sebuah perdebatan, yang dikenal dengan nama "Ilmu Munadzarah". Bahkan jika kita sedikit lebih cermat, setidaknya kita akan mengetahui bahwa sebab turunnya pembukaan surat Ali Imran ialah bermula dari perdebatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dengan seorang Nasrani, yang kala itu membahas tentang Nabi Isa as. Dari sini kita belajar akan dapat berpengaruhnya muncul suatu irsyad juga didalam sebuah perdebatan.

Salah satu ulama ternama Hanbaliah, Imam Najmuddin At-thufi mengarang kitab yang bernama A'lamul Jadzal Fi I'lmi Jadal yang didalamnya membahas tentang peran sebuah 'perdebatan' dalam literatur kehidupan. Bahkan beliau menyebut bahwa ilmu jadal/perdebatan sebagai ushul fiqh yang bersifat khos. Setidaknya beliau pun mampu merecord bahwa perdebatan telah ada sejak era jaman Sahabat hingga akhir Dinasti Abasiyyah. Ini mengindikasikan bahwa stigma negatif yang selalu ada dibalik dinding perdebatan tidak dapat diterima. Karena sejatinya sebuah perdebatan mampu mengukur seberapa terampilnya individu dalam bersikap ilmiah maupun metodologis, sesuai dengan apa yang dikatakan At-Thufi bahwa,
الجدل صناعة تكاد أن تكون فطرية
Perdebatan ialah ketrampilan yang hampir menjadi fitrah.

Jadi kami cukup heran ketika ada seorang calon pemimpin 'tidak sama sekali berkenan' untuk bertatap muka beradu argument dengan calon lainnya. Bagaimana kelak ia akan mampu membela rakyatnya jika membela dirinya pun ia enggan ? Sebab salah satu unsur yang terdapat didalam sebuah forum perdebatan adalah untuk membela/mempertahankan ideologi dirinya sendiri. Menurut Sujiwo Tejo, "Debat itu soal kata, kerja soal keringat. Bahkan menyatakan cinta dengan perbuatan saja tak cukup, kau mesti harus mengatakannya". Begitulah peran sebuah bahasa lisan yang cukup sangat vital. Ia tak dapat digantikan walau dengan 1001 bahasa tubuh sekalipun.

Dan nampaknya apa yang dikhawatirkan oleh As-syahid Syaikh Dr. Ramadhan Al-buthi bahwa Ilmu Jadal/Perdebatan mulai masuk dalam frase U'lum Mundatsirah (Ilmu yang punah) telah terlihat.

Wallahu a'lam

- Rois Faisal Ridho -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah sejak 1852 M

Jawa Timur.Santrionline - Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah merupakan Pesantren yang didirikan Mbah Busyro Al Khafi yang waktu mudanya belajar selama 17 tahun di Mekah. Pendiri Pesantren ini merupakan ayahnya Mbah Soleh yang mempunyai istri yang bernasab dengan Mbah Maimoen di Pesantren Al Anwar Sarang Rembang. Pesantren ini sudah mempunyai sekolah Formal, tapi tetap menjaga tradisi baca kitab turost dengan membangun Pesantren Kidul di sebelah selatan pesantren. Kiai Abdul Azis yang ditemui suarapesantren.net pada 29 Maret 2016 mengungkapkan bahwa dirinya meneruskan memimpin Pondok Kidul yang merupakan cabang dari Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah di Beji Jenu Tuban Jawa Timur. Pesantren yang terletak di jalur Pantura Tuban ini disebelah Barat yang juga disebut sebagai Pondok Kidul atau sebelah Selatan, sedang pusatnya di sebelah Utara. Dalam bangunan klasik yang terbuat dari kayu berpilar empat itu, tertulis tahun 1852 Masehi di mana tempat itu merupakan tempat penga

Perkawinan Dimata Gus Mus

Perkawinan itu pertemuan dua hal yang berbeda sekali. Ia tidak seperti perbedaan dua hal antar suku, atau antar Negara. Kedua yang terakhir ini lebih banyak jalan menjembataninya untuk bisa damai. Tetapi perbedaan dalam perkawinan adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Relasi suami isteri dalam rumah tangga tidak selalu indah, tidak selamanya membahagiakan, tidak selama damai. Selalu saja ada masa sulit, pertengkaran, percekcokan dan seterusnya. Menyelesaikannya tidak mudah, perlu hati-hati sekali. Paling-paling hanya tiga bulan saja masa-masa indah itu. Selebihnya bergelombang-gelombang. Orang bilang bahwa perempuan itu lemah, dan laki-laki itu kuat. Ini tak sepenuhnya benar, Kita coba saja laki-laki untuk membawa beras enam kilogram secara terus menerus, berjam-jam, berhari-hari dan berbulan-bulan. Satu atau dua jam mungkin bisa, tetapi terus menerus tanpa henti?. Apakah sanggup?. Saya kira tak ada. Laki-laki, suami, biasanya mengaku cepat lelah. Ia lebih suka duduk sambil

Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Ketika Didzalimi Dibalas Dengan Menyayangi

Keterangan foto: Yang sedang naik becak adalah al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang dan al-Habib Ali bin Husein Alattas Bungur Santrionline- Suemdang, Dahulu di masa al-Habib Ali al-Habsyi Kwitang masih hidup, ada seseorang yang sangat membencinya dan orang itu tinggal di Kwitang. Kelakuan orang itu terhadap al-Habib Ali al-Habsyi sunggah tidak terpuji. Bila lewat di hadapannya dengan sengaja meludah di depan al-Habib Ali al-Habsyi, sampai-sampai membuat marah para murid al-Habib Ali al-Ha bsyi. Hingga suatu saat, al-Habib Ali al-Habsyi memberikan jatah sembako berupa beras kepada orang itu. Dengan memanggil muridnya, al-Habib Ali al-Habsyi memerintahkan agar beras itu diberikan kepada orang itu. Hal ini membuat bertanya-tanya sang murid. Namun belum sempat ditanyakan, al-Habib Ali al-Habsyi berkata: “Berikan ini, tapi jangan bilang dari saya. Bilang saja dari kamu.” Lebih dari 2 tahun orang itu menikmati jatah sembako yang diberikan al-Habib Ali al-Habsyi kepadanya melalui p