Langsung ke konten utama

KISAH CINTA QAIS dan LAILA YANG ABADI

Kisah Cinta Antara Qais dan Laila Majnun Yang Abadi

santrionline.net ~ Laila Majnun, sebuah kisah dari cerita rakyat arab, tentang kecantikan seorang gadis bernama Laila, yang menarik hati seorang pemuda, Qais keturunan Bani Amir. Qais yang semula pandai, gagah dan berasal dari kabilah terhormat, menjadi “majnun” atau gila, karena kasihnya yang tak sampai. Qais, yang tersiksa karena takdir yang selalu memusuhinya, sedang hasrat tak mampu ditundukan hatinya, menjadikan dia lupa akan hakikat hidupnya sendiri. Walau kegilaan yang dialaminya mengilhami tutur bahasa sastra yang indah, dan ketulusan jiwa dalam derita cinta, tetap saja sebutan “majnun” tak dapat ditepisnya. Kisah tentang Qais dan Laila yang hidup di suatu negeri wilayah tanah Arab.

Qais yang berwajah tampan dan Laila yang terkenal akan kecantikannya, yang menjadi dambaan setiap laki-laki. Akhirnya cinta mereka kandas karena adat melarang mereka untuk mengekspresikan gelora cintanya. Maka, tumpah ruahlah segala rasa rindu dan cinta dalam bentuk syair dan puisi yang mengalir menentang takdir mereka. Suatu ketika Qais memutuskan ikut berniaga ke negeri lain bersama ayahnya agar kelak ia memiliki bekal pengetahuan sendiri tentang perniagaan. Ketika mengucapkan selamat tinggal kepada Laila, Qais memberikan seuntai kalung mutiara sebagai tanda kesetiaannya. Qais minta Laila berjanji untuk melepaskan sebuah mutiara dari untaiannya apabila waktu sudah menunjukkan bulan baru. Ia pun berjanji akan kembali sebelum untaian mutiara habis. Meskipun sangat sedih, Laila merelakan kekasihnya pergi mencari pengalaman. Sepeninggal Qais, Laila hanya bermenung diri dan menciptakan syair sebagai pelambang rindu.

Suatu hari, ayah Laila, Al-Mahdi, pulang ke rumah bersama seorang tamu bernama Sa’d bin Munif, yang diajak menginap. Tamu itu seorang saudagar kaya raya yang berasal dari Iraq. Ketika berjumpa Laila, Sa’d bin Munif langsung jatuh cinta dan melamar Laila kepada ayahnya. Tanpa sepengetahuan Laila, Al-Mahdi menerima lamaran tersebut karena tergiur oleh mas kawin 1.000 dinar dan harta kekayaan Sa’d bin Munif. Laila tak berdaya melawan perintah ayahnya karena adat memang menyatakan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Sementara itu, Qais yang telah memasuki bulan ke-9 ikut berniaga ke negeri-negeri seperti Damsjik, Jerusalem, Hims, Halab, Anthakijah, Irak, Koefah, hingga Basrah tidak dapat lagi menahan rindunya terhadap Laila. Wajahnya tampak muram dan badannya semakin kurus. Ayah Qais melihat kesedihan anaknya dan menanyakan ada apakah gerangan yang telah mengganggu pikirannya. Akhirnya Qais berterus terang tentang kisah cintanya dengan Laila.

Demi mendengar penuturan anaknya, Al-Mulawwah memutuskan segera kembali ke kampung halamannya dan berjanji akan melamar Laila untuk Qais. Ketika sampai kampung halaman, Al-Mulawwah bergegas menemui ayah Laila dan menawarkan 100 unta sebagai pengganti wang 1.000 dinar yang telah diberikan Sa’d bin Munif. Akan tetapi, dengan sombongnya, ayah Laila menolak lamaran Al-Mulawwah. Tak berapa lama kemudian, pesta perkawinan Laila dan Sa’d bin Munif diselenggarakan secara besar-besaran. Maka, hancur luluhlah hati Qais. Tak ada satu ubat pun yang dapat menyembuhkan sakitnya ini, meskipun orang tuanya telah membawa banyak tabib ternama untuk merawatnya. Sejak itu Qais tidak mau berbicara kepada orang lain, ia sibuk dengan dirinya sendiri dan sering kali terlihat berbicara sendiri. Kerana perilaku aneh inilah orang sekampungnya memanggil Qais dengan "Majnun", yang bererti "GILA". Akan halnya Laila, meskipun kini telah menjadi istri Sa’d bin Munif, ia tetap mencintai Qais.

Sehinggakan ada suatu ketika bila mana Laila mengarahkan pengawal istana untuk mencari Qais dan mengirimkan makanan yang lazat, apabila pengawal laila tiba di tengah-tengah kota lalu menyeru "Wahai sekalian rakyat, siapakan yang bernama Qais??? ada kiriman dari puteri Laila

Menurut Laila, secara luaran ia boleh menjadi istri Sa’d bin Munif, tetapi jiwanya tetap untuk Qais. Dalam ungkapannya, di dunia Qais dan Laila bukanlah pasangan suami istri, tetapi di akhirat mereka menjadi pasangan abadi. Karena tak kuat menanggung penderitaan cinta ini, Laila sakit dan selalu memanggil nama Qais. Akhirnya Qais pun dipanggil untuk menemui Laila. Ketika mereka bertemu, Laila memberi pesan terakhir bahwa mereka akan bertemu nanti di akhirat sebagai sepasang kekasih. Demi melihat kekasihnya meninggal, putus asalah Qais. Tak ada lagi keinginannya untuk hidup. Sehari- hari kerjanya hanya duduk di pusara Laila hingga akhirnya Qais meninggal. Maka, jasad Qais pun dibaringkan di samping pusara Laila. Kira-kira 10 tahun kemudian, beberapa musafir menziarahi kubur mereka berdua. Di atas kedua pusara itu telah tumbuh dua rumpun bambu yang pucuknya saling berpelukan. Maka, masyhurlah kisah ini sebagai kisah Laila-Majnun.

Read: Isa Anshori

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...