Langsung ke konten utama

AKHLAK PARA KYAI KITA

AKHLAK PARA KYAI KITA

Kisah Buya Hamka (Tokoh Muhammadiyyah) Membaca Qunut Shubuh, dan KH. Idham Chalid (Tokoh NU) yang Tidak Membaca Qunut Shubuh

Keakraban dan keharmonisan para tokoh pendahulu dari kalangan NU dan Muhammadiyyah sudah terjalin semenjak dahulu, hanya saja kita kurang mengetahui tentangnya. Walau berbeda organisasi hingga berbeda dalam tata cara amaliah ibadahnya, kedua organisasi itu mampu menunjukkan eksistensinya sehingga sekarang.

Kisah berikut begitu menginspirasi kita semua tentang arti sebuah perbedaan, persaudaraan dan penghormatan. Kisah yang dialami oleh dua tokoh utama Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyyah, KH. DR. Idham Chalid dengan Buya Hamka (Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah).

Syahdan, dulu KH. Idham Chalid (Pimpinan PBNU) pernah satu kapal dengan Buya Hamka (tokoh Muhammadiyah) dengan tujuan yang sama menuju tanah suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Tidak ada kisah istimewa dari kedua tokoh berbeda paham tersebut hingga waktu shalat Shubuh menjelang.

Di saat hendak melakukan shalat Shubuh berjamaah, KH. Idham Chalid dipersilakan maju untuk mengimami. Secara tiba-tiba, pada rakaat kedua, KH. Idham Chalid meninggalkan praktek Qunut Shubuh, padahal Qunut Shubuh bagi kalangan NU seperti suatu kewajiban. Semua makmun mengikutinya dengan patuh. Tak ada nada protes yang keluar walau ada yang mengganjal di hati.

Sehingga seusai salat Buya Hamka bertanya: “Mengapa Pak Kyai Idham Chalid tidak membaca Qunut.”

Jawab KH. Idham Chalid: “Saya tidak membaca doa Qunut karena yang menjadi makmum adalah Pak Hamka. Saya tak mau memaksa orang yang tak berqunut agar ikut berqunut.”

Keesokan harinya, pada hari kedua, Buya Hamka yang giliran mengimami shalat Shubuh berjamaah. Ketika rakaat kedua, mendadak Buya Hamka mengangkat kedua tangannya, beliau membaca doa Qunut Shubuh yang panjang dan fasih. Padahal bagi kalangan Muhammadiyah Qunut Shubuh hampir tidak pernah diamalkan.

Seusai shalat, KH. Idham Chalid pun bertanya: “Mengapa Pak Hamka tadi membaca doa Qunut Shubuh saat mengimami salat?”

“Karena saya mengimami Pak Kyai Idham Chalid, tokoh NU yang biasa berqunut saat shalat Shubuh. Saya tak mau memaksa orang yang berqunut untuk tidak berqunut,” jawab Buya Hamka merendah.

Akhirnya kedua ulama tersebut saling berpelukan mesra. Jamaah pun menjadi berkaca-kaca menyaksikan kejadian yang mengharukan, air mata tak dapat mereka tahan.

Lihatlah, betapa kebesaran jiwa para kyai kita terbukti melalui kisah yang luar biasa ini, betapa besar jiwa para pemimpin umat Islam Indonesia ini.

Mari  kita belajar kepada mereka mereka yang ilmunya nyegoro, meski ada perbedaan pendapat dan pandangan  tak menjadikan pertengkaran dan permusuhan

Ada satu nasehat indah dari Al Habib Ali Al Jufri  " Sering kita berbeda pendapat dalam banyak hal, akan tetapi wajib bagi kita semua untuk tidak berbeda AKHKAK saat menghadapi perbeda'an "

#Note: (Kisah ini juga tertulis dalam buku “99 Detik Menunggang Harimau Lapar”, pada bab kedua tentang silaturahim dan persaudaraan).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...