Langsung ke konten utama

Pelajar NU Banyuwangi Nobar dan Diskusikan "Jalan Dakwah Pesantren"

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Nusantara tak diragukan lagi berkontribusi kepada bangsa Indonesia. Tidak hanya dalam konteks perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, pesantren juga ikut serta menjaga nilai-nilai toleransi bangsa Indonesia yang multikultural ini.

Meski demikian, tak semua rakyat Indonesia, terlebih kalangan internasional, yang mengenal pesantren dengan baik. Anak-anak muda kadang mestigma pesantren sebagai tempat yang “kolot”. Bahkan, ada sebagian pihak yang menuduh pesantren sebagai “sarang terorisme”.

Perkembangan demikian, oleh Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama–Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPNU-IPPNU) Kabupaten Banyuwangi ditangkap dengan mensosialisasikan tentang pesantren.

Cara mensosialisasikan pesantren yang dilakukan dua banom NU tersebut dengan nonton bareng dan diskusi film “Jalan Dakwah Pesantren”. Film garapan Yuda Kurniawan tersebut diputar di hadapan ratusan anak muda yang memadati auditorium Institute Agama Islam Ibrahimy, Genteng, Selasa (25/10).

“Kalau didakwahi, mungkin, anak-anak muda ini tidak minat. Maka, kami coba mengenalkan pesantren dengan cara baru, nonton film,” ujar Ketua PC IPNU Banyuwangi Yahya Muzakki.

“Jalan Dakwah Pesantren” sendiri merupakan dokumentasi tentang sejarah perkembangan pesantren dan nilai-nilai luhur pendidikan serta kultur pesantren. “Tujuan pembuatan film ini untuk menunjukkan peran pesantren yang besar bagi bangsa, yang mana lebih dari 30 tahun dibungkam oleh Orde Baru,” ungkap Yuda Kurniawan, sutradara asal Banyuwangi ini.

Sementara itu, Cinematografer Universitas Negeri Jember Fauzi Ramadhani yang menjadi salah satu narasumber dalam diskusi melihat film tersebut mampu mendudukkan pesantren dalam porsinya. “Pesantren dengan kulturnya yang khas, bisa dimunculkan dengan baik. Tak mudah untuk bisa demikian,” ungkap penggiat film yang pernah syuting di PP Bustanul Makmur, Genteng, itu.

Film tersebut, menurut narasumber lain, KH Cholilur Rahman, juga bisa memunculkan romantisme tersendiri bagi para alumni pesantren. “Jujur, saya meneteskan air mata saat melihat bagian awal ketika lalaran Alfiyah. Ini benar-benar menumbuhkan kebanggaan bagi santri dengan pesantrennya,” ungkap lelaki yang juga Rektor IAI Ibrahimy tersebut.

Para peserta yang terdiri dari OSIS SMP dan SMA di Banyuwangi serta mahasiswa tersebut memberikan kesan tersendiri bagi mereka. Gozin, mahasiswa IAI Ibrahimi yang mengaku tidak pernah merasakan pesantren, terdorong untuk belajar di pesantren. “Pingin rasanya tinggal di pesantren,” ungkapnya. (Anang Lukman Afandi/Abdullah Alawi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...