Langsung ke konten utama

Salah Dengar Instruksi Kiai

Di sela rutinitas menyapu halaman ndalem, seorang santri tiba-tiba dipanggil Kiai Latif. “Nak, kemarilah!” Serunya dengan suara lirih dan berat. Maklum, Kiai Latif sudah sepuh, suaranya pun terdengar berat.

Si santri yang mendengar suara itu, langsung menunduk dan menghampiri kiainya dengan setengah berlari. Namun,sebelum si santri berada tepat di depan Kiai Latif, suara Kiai Latif terdengar kembali. “Tolong carikan cangkul.”

Si santri yang sendiko dawuh tak berani bertanya kembali kepada Kiai Latif. Ia langsung pergi mencari ketua pondoknya, Kang Fathul. Pikirnya, ia yakin mbah kiai ada keperluan penting dengan Kang Fathul.

Si santri yang tak ingin membuat kiainya menunggu lama, berlari menuju kamar pengurus. Dengan napas terengah-engah ia temui Kang Fathul yang sedang mengaji Al-Qur’an di kamarnya.

“Kang, kang, jenengan dipanggil yai,” panggil si santri dari depan kamar. Kang Fathul yang mendengar pun langsung menjawabnya “Ada apa, Kang, Mbah Yai manggil saya?”

“Tidak mengerti, Kang, sepertinya penting. Cepet, Kang,” seru si santri. Karena mendapat perintah cepat, Kang Fathul pun menutup Al-Qur’annya dan segera mengambil sandal menuju ndalem kiai. Santri yang memanggilnya tadi pun ikut kembali ke halaman ndalem kiai.

Dari kejauhan, Kiai Latif agak terkejut melihat santri yang disuruhnya datang bersama Kang Fathul, dan tidak membawa cangkul sesuai pesanannya. Ia pun mafhum, santrinya salah mendengar kata-katanya tadi.

“Ini Yai, Kang Fathul” kata si santri yang mendekat kepada Kiai Latif.

“Oh yo cung, matursuwun, terimakasih,” jawab Kiai Latif yang tak ingin membuat rasa bersalah santrinya.

Si santri lega tanggung jawabnya tuntas,dan kembali menyapu halaman ndalem kiai. Sementara Kiai Latif dan Kang Fathul terlibat pembicaraan di sebelahnya.

“Anu… Fathul. Aku tolong carikan cangkul!” pinta Kia Latif ke Kang Fathul.

Santri penyapu halaman yang mendengar percakapan itu pun sadar, dan bergumam di dalam hati, “Waduh, ternyata yang diminta cangkul, bukan Kang Fathul.”

(NU Online)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah sejak 1852 M

Jawa Timur.Santrionline - Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah merupakan Pesantren yang didirikan Mbah Busyro Al Khafi yang waktu mudanya belajar selama 17 tahun di Mekah. Pendiri Pesantren ini merupakan ayahnya Mbah Soleh yang mempunyai istri yang bernasab dengan Mbah Maimoen di Pesantren Al Anwar Sarang Rembang. Pesantren ini sudah mempunyai sekolah Formal, tapi tetap menjaga tradisi baca kitab turost dengan membangun Pesantren Kidul di sebelah selatan pesantren. Kiai Abdul Azis yang ditemui suarapesantren.net pada 29 Maret 2016 mengungkapkan bahwa dirinya meneruskan memimpin Pondok Kidul yang merupakan cabang dari Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah di Beji Jenu Tuban Jawa Timur. Pesantren yang terletak di jalur Pantura Tuban ini disebelah Barat yang juga disebut sebagai Pondok Kidul atau sebelah Selatan, sedang pusatnya di sebelah Utara. Dalam bangunan klasik yang terbuat dari kayu berpilar empat itu, tertulis tahun 1852 Masehi di mana tempat itu merupakan tempat penga

Perkawinan Dimata Gus Mus

Perkawinan itu pertemuan dua hal yang berbeda sekali. Ia tidak seperti perbedaan dua hal antar suku, atau antar Negara. Kedua yang terakhir ini lebih banyak jalan menjembataninya untuk bisa damai. Tetapi perbedaan dalam perkawinan adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Relasi suami isteri dalam rumah tangga tidak selalu indah, tidak selamanya membahagiakan, tidak selama damai. Selalu saja ada masa sulit, pertengkaran, percekcokan dan seterusnya. Menyelesaikannya tidak mudah, perlu hati-hati sekali. Paling-paling hanya tiga bulan saja masa-masa indah itu. Selebihnya bergelombang-gelombang. Orang bilang bahwa perempuan itu lemah, dan laki-laki itu kuat. Ini tak sepenuhnya benar, Kita coba saja laki-laki untuk membawa beras enam kilogram secara terus menerus, berjam-jam, berhari-hari dan berbulan-bulan. Satu atau dua jam mungkin bisa, tetapi terus menerus tanpa henti?. Apakah sanggup?. Saya kira tak ada. Laki-laki, suami, biasanya mengaku cepat lelah. Ia lebih suka duduk sambil

Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Ketika Didzalimi Dibalas Dengan Menyayangi

Keterangan foto: Yang sedang naik becak adalah al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang dan al-Habib Ali bin Husein Alattas Bungur Santrionline- Suemdang, Dahulu di masa al-Habib Ali al-Habsyi Kwitang masih hidup, ada seseorang yang sangat membencinya dan orang itu tinggal di Kwitang. Kelakuan orang itu terhadap al-Habib Ali al-Habsyi sunggah tidak terpuji. Bila lewat di hadapannya dengan sengaja meludah di depan al-Habib Ali al-Habsyi, sampai-sampai membuat marah para murid al-Habib Ali al-Ha bsyi. Hingga suatu saat, al-Habib Ali al-Habsyi memberikan jatah sembako berupa beras kepada orang itu. Dengan memanggil muridnya, al-Habib Ali al-Habsyi memerintahkan agar beras itu diberikan kepada orang itu. Hal ini membuat bertanya-tanya sang murid. Namun belum sempat ditanyakan, al-Habib Ali al-Habsyi berkata: “Berikan ini, tapi jangan bilang dari saya. Bilang saja dari kamu.” Lebih dari 2 tahun orang itu menikmati jatah sembako yang diberikan al-Habib Ali al-Habsyi kepadanya melalui p