Langsung ke konten utama

Konsep La Ikraha fi ad-Din (Bag.2 Habis)

Islam dalam memasarkan ajarannya dengan melalui suri tauladan yang baik dari Nabi, tuturkata yang baik, nasihat yang baik, mengajak (dakwah) dan berdialog dengan cara-cara yang paling baik. Ini pun dilakukan kepada umat paganisme, yang dulu ketika Islam turun disebut sebagai para penyembah berhala [Baca: Konsep La Ikroha Fi Addin-Bag.1] Akan tetapi Islam tetap menghargai kepercayaan pakanisme sebagaimana dalam sejarah ketikaIslam masuk ke Mesir, para sahabat Nabi tetap mempertahankan patung-patung, piramida, dan tempat peribadahan agama pagan yang ada. Demikian juga ketika Islam masuk ke Persia, agama Majusi penyembah api dihormati dan bahkan filosofinya dicoba diakulturasikan dengan tasawuf dan menghasilkan teorial-isyraq (illuminasi).

Sedangkan kepada para pemeluk agama samawi, yang disebut sebagai Ahlul Kitab, seperti Yahudi dan Nasrani, Islam hanya mengajak untuk mencari titik temu,kalimatun sawa, tidak mengajak untuk mencari titik perbedaan yang berujung pada konflik horizontal dan perang atas nama agama (Surah Ali ‘Imran: 64). Bahkan, Islam mensyaratkan secara mutlak bahwa keabsahan iman bagi seorang Muslim adalah dengan mengimani dan meyakini selaku benar kepada kitab-kitab suci yang diturunkan kepada umat sebelumnya, yaitu Taurat bagi umat Yahudi dan Injil bagi umat Nasrani (Surah Al-Baqarah: 4), mengharuskan kepada umat Muslim untuk bergaul dengan baik, dan boleh saling memberi hadiah makanan (Surah Al-Maidah: 5).

Islam yang begitu indah dan mesra perlu dirawat, dengan mendudukkan ayat-ayat perang dan ‘terkesan’ intoleran pada konteksnya, sebab jika tidak maka akan berpotensi ditafsirkan secara harfiyahdan dijauhkan dari konteksnya lalu dipaksakan untuk diterapkan pada masa kini yang berbeda. Di antaranya ayat-ayat peperangan yang mewajibkan orang kafir yang kalah berperang maka harus membaya rjizyah,fai,danghanimah.

Menurut Fahmi Huwaidi, seorang pemikir Mesir, dalam bukunya “Muwathinuna La Dhimmiyuna” menyatakan bahwa pembayaran jizyahbukan aturan yang pertama kali diterapkan oleh Islam dan dunia Arab. Akan tetapi pembayaran jizyahbagi pihak yang kalah berperang atau daerah yang diduduki merupakan aturan perang internasional pada masa Sebelum Masehi dan berlangsungini sampai Nabi Muhammad diutus.

Kaisar Anusirwan, raja Persia, abad ke-5 SM., dianggap sebagai seorang yang pertama kali menetapkan undang-undang pembayaran jizyahpada negara yang diduduki. Dan diterapkan pada saat Persia menguasai Asia Kecil dan Atena. Begitu juga Romawi menerapkan undang-undang pembayaran jizyah kepada negara yang sekarang termasuk negara Prancis.

Sehingga kalau melihat sejarah tersebut, maka persoalan pembayaran jizyah bukan persoalan teologis Islam vis-a-visnon-Islam. Akan tetapi murni persoalan politik dan undang-undang perang yang berlaku pada masanya. Dan sekarang dianggap sudah tidak relevan, karena termasuk pelanggaran HAM. Islam sendiri akan selalu merelevankan dirinya dalam konteks tempat dan masanya,shalihun li-kulli zaman wa makan.

Demikian juga relasi disharmonis Islam dan non-Islam dalam beberapa ayat, turun dilatar belakangi umat Islam dalam posisidifa’i(defensif) dari serangan non-Islam, bukan offensif. Karena misi Islam sejak semula sebagai agama yang menebar kasih sayang,rahmatan lil-‘alamin. Islam membela dirinya demi tegaknya cinta kasih. Dan Islam adalah agama mesra.[Tamat]

(Islami.Co)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...