Langsung ke konten utama

Konsep La Ikraha fi ad-Din (Bag.1)

Kepercayaan atau keimanan meniscayakan adanya ketulusan, kesadaran dan cinta. Ketulusan artinya komitmen hati yang tanpa disertai tekanan atau paksaan. Sebab keimanan merupakan pilihan, dan pilihan hanya dapat diambil bagi seseorang yang dalam kondisi bebas berkehendak; merdeka.

Keimanan juga harus dilandasi oleh cinta. Sebab, kepercayaan dan cinta merupakan dua hal yangsaling kait-kelindan dan tidak bisa dipisahkan; kepercayaan adalah bukti cinta, begitupun cinta juga adalah bukti bagi sebuah rasa percaya. Bukan kepercayaan jika tanpa ada cinta. Sebaliknya, tidak ada cinta tanpa ada kepercayaan. Ini bisa dilihat dari cara pandang para sufi yang melandaskan keberagamaannya dengan cinta. Kepercayaan dan cinta tidak bisa dipaksakan.

Abu Manshur al-Hallaj, seorang sufi, ketika di Pasar Kota Baghdad, melihat seorang Muslim sedang memaksakan kehendak dan membentak orang Yahudi, dia menyampaikan keberatannya kepada lelaki yang membentak itu dan berkata, “perbedaan agama itu adalah kehendak Allah. Maka janganlah mengingkari kehendak Allah yang sudah ditetapkan”.

Keimanan menjadi absurd ketika berada dalam tekanan dan paksaan. Dikatakan dalam satu ayatla ikraha fi ad-din(tidak ada paksaan dalam beragama). Hurufladalam ayat ini adalah huruf negasi, yang menurut gramatika Arab (Nahwu) berfungsi sebagainafyi al-jinsi(menegasikan segala bentuk dan berbagai jenis sesuatuyang dinegasikan). Sehingga ayat ini mengandung arti bahwa tidak boleh ada paksaan sama sekali dalam berbagai bentuk dan jenis paksaan apapun dalam beragama.

Kita tahu bahwa ada banyak bentuk, motif, dan jenis paksaan, yakni paksaan dengan menggunakan cara-cara kekerasan, paksaan dengan cara-cara persuasif-lunak, paksaan dengan memanfaatkan kelemahan posisi seseorang atau golongan tertentu secara ekonomiatau politik dalam bingkai relasi mayoritas-minoritas, atau pemaksaan dengan memanfaatkan relasi patronase, dan bahkan paksaan atas ‘nama cinta’. Dan semua bentuk pemaksaan tersebut dilarang keras dalam al-Quran.

Keimanan bisa berpijar di dalam hati seseorang oleh sebuah hidayah (petunjuk) yang bisa diusahakan melalui adanya ketertarikan yang muncul secara alamiah akibat dari pergolakan bathin yang serius dari akselerasi pembelajaran, pengalaman hidup, atau pencarian kebenaran, atau terpikat dengan sendirinya pada ajakan (dakwah) yang elegan, bukan oleh sebuah paksaan atau tendensi.

Paksaan dalam beriman dilarang, sebab bertentangan dengan karakter keimanan yang meniscayakan adanya pilihan bebas dan cinta.[Bersambung]

(Islami.Co)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...