Langsung ke konten utama

Objektifitas Dalam Beragama

Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam al-Qur’an yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-Islam. Dalam rekam jejaknya, tak bisa dipungkiri bahwa islam bisa berkembang karena adanya sinergi dengan sebuah adat / tradisi yang di olah dengan begitu santun penuh etika. Hal ini pun dapat kita buktikan dalam catatan sejarah masuknya islam di bumi nusantara yang oleh Wali Songo memposisikan budaya sebagai jembatan dakwahnya. Namun dewasa ini oleh sebagian kelompok yang notabenenya bersikap monolitik, acap kali mereka tak mengenal kata kompromi dalam memandang adat atau tradisi yang faktanya telah mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat. Paham kelompok ini pun pernah disinggung oleh seorang Cendekiawan Mesir, Syaikh Abu Zahrah dalam satu kesempatan,

لا يقبل الخطاء من نفسه ولا يقبل الصواب من غيره
"Tidak menerima kesalahan dari diri sendiri dan enggan menerima kebenaran dari orang lain"

Itulah mereka, yang sangat hard dalam memandang sebuah perkara baru yang mereka temukan. Paham seperti ini jika dibiarkan, jelas akan berdampak kepada nilai-nilai ajaran Ahlussunnah Wal Jama'ah yang sebenarnya. Seleksi / filter yang seharusnya di aplikasikan akan mengalami pergeseran dan terganti dengan tembakan "Bid'ah, Kafir, Syirik, dll".

Dalam bukunya Rahasia Sukses Fuqaha, Agus M. Ridlwan Qayyum Said, Lirboyo memberikan sedikit penerangan agar ketika kita dihadapi oleh sebuah permasalahan yang dalam dzohir hukumnya hal itu tidak diperbolehkan namun sudah terlanjur mentradisi di masyarakat agar kita tidak terburu-buru dalam mengkultuskan atau menjudge tradisi tersebut. Setidaknya ada beberapa point yang beliau sampaikan untuk menghindari paham seperti kelompok monolitik diatas,

1. Bandingkan ta'bir dari berbagai kitab. Di sana mungkin ada pendapat lain yang memperbolehkan.

2. Kalau pada kitab-kitab Syafi'iyyah belum ditemukan khilaf, coba berpindah pada kitab-kitab diluar Syafi'iyyah.

3. Jika belum juga ditemukan, bersabarlah ! Carilah referensi sebanyak mungkin.

4. Catatlah masalah-masalah musykil tersebut lalu diskusikan lah dengan Kyai-Kyai disekitar anda.

Yang pada akhirnya point-point diataslah kunci agar kita tetap meneguhkan identitas distingtif namun tetap demokratis, toleran, dan moderat. Pada suatu kesempatan Almaghfurlah Romo Kyai Idris Marzuqi pernah dawuh,
"Kyai-Kyai dulu ketika menemukan kemusykilan yang memang benar-benar tak terpecahkan, mereka melakukan istikharah".
Hal ini sejalan dengan misi Nabi Muhammad saw. sebenarnya, yang mana beliau diperintahkan untuk menyempurnakan akhlaqul karimah yang juga berarti budaya, tradisi, dan adat. Maka tak heran Kyai-Kyai dahulu cukup santai dan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan.

Wallahu 'alam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...