Langsung ke konten utama

Chapter 1. Sebuah Pertemuan: "Kakek Dolah, siapakah dia?"

 Oleh: (الفقير والمذنب، ديانتاريس)
Seorang lelaki paruh baya tiba-tiba saja berada di depan masjid desa kami kala ramadhan tahun lalu, sewaktu aku sedang berada di Lombok. Pakaiannya lusuh, tanpa alas kaki, serta dengan tatapan sayu ia berdiri di depan masjid kala acara nuzulul qur’an tengah berlangsung. Ia hanya duduk bersila di halaman masjid yang hanya beralaskan tanah, sembari mendengarkan pengajian dari seorang Tuan Guru, yang diundang oleh Pak Kades.Sesekali pria itu berdiri cukup lama kemudian membungkuk selaknya sedang menyambut kedatangan tamu, kemudian duduk lagi.
Aku yang kala itu menjadi panitia nuzul mendekatinya, mempersilahkannya untuk duduk di dalam masjid, namun ditolaknya. “Biar disini saja, saya tidak lama” jawabnya singkat. Belum sempat mengobrol dengannya, Aku sudah dipanggil oleh pengeras suara masjid. Aku harus mewakili Mas Aditya yang berhalangan hadir untuk memberikan kata sambutan panitia nuzul.
Selepas memberikan sambutan panitia, Aku diminta untuk menemani Tuan Guru di dalam, jadi Aku tidak mengetahui cerita lebih lanjut tentang pria paruh baya tersebut.
Setelah acara selesai, Aku memberitahu periswtiwa itu kepada abah. Abah mengatakan, “oh, kakek itu namanya dolah. Tinggalnya di sebuah gubuk deket desa, dia memang begitu. Ga pernau mau masuk ke dalam masjid”.
Kenapa dia ga mau masuk masjid bah? Tanyaku penasaran.
“nanti juga kamu ngerti sendiri” jawab abah sembari menyulut sebatang rokok kretek. Aku hanya bisa mengangguk-anggukan kepala.
Maklum saja, Aku di desa ini sampai kelas 6 SD, selanjutnya dipondokkan oleh Abah. Setelah lulus pondok (setingkat SMA) Aku kuliah di negara orang, harus nyebrang lautan dua kali dan terbang setengah hari kalau mau pulang ke rumah. Jadi hampir 14 tahun Aku tidak pernah menghabiskan waktu lama di desa. Selama kuliah di negara tersebut, Aku juga mondok, jadi walaupun perkuliahan sedang libur panjang, Aku tidak bisa pulang karena masih banyak kitab yang harus Aku khatamkan. Alhamdulillah Aku diberi kesempatan menuntut ilmu di Maroko, dibiayai oleh pondok lamaku (pondok semasa smp-sma).
“Mas Rian....mas rian, ayo pulang. Fatimah sudah ngantuk ni.” Sambil menarik-narik bajuku, adik perempuanku memaksaku untuk pulang. Adikku ini memang manja padaku, dia masih pengen deket-deket terus, minta ditemani ke sinilah, minta ditemani ke ngerjain tugas memasak lah, mendengarkan puisinyalah.
Ah..... Fatimah memang ga bisa jauh dariku, ga mau pisah dariku, seorang kakak yang telah lama jauh dari rumah.
Aku baru enam bulan menganggur, setelah lulus dari maroko aku memang sengaja menganggur. Aku sengaja tidak mencari pekerjaan, aku masih ingin bermanja-manjaan dengan adik-adikku, masih banyak cerita yang ingin aku bagi pada abah dan ibuku. Membuatkan abah secangkir kopi di pagi hari dan menemani ibu memasak sarapan, rasanya sungguh nikmat, sungguh nikmat yang terlampau besar untuk aku dustakan.
Sudah menjadi kebiasaanku untuk berjalan mengelilingi desa setiap pagi hari, menghirup udara segar desa yang belum tercemar. Kadang rasa penasaranku menuntun langkah kakiku menelusuri jalanan desa hingga jauh sekali. Pernah suatu ketika aku berjalan sejauh 10 KM hanya untuk menelusuri muara sebuah kali. Iya, aku tidak bisa dibuat penasaran, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dada jika aku diamkan rasa penasaranku itu.
Sama seperti pagi itu, bermodal informasi dari abah, rasa penasaranku akan sosok kakek dolah membawaku menuju sebuah gubuk di pinggir desa. Lebih tepatnya di perbatasan desa dengan sebuah kebun duren. Aku bertanya dari satu warga ke warga lainnya, apakah ada yang mengenal kakek dolah. Mereka hanya menunjukkan ke arah sebuah gubuk sederhana di tengah kebun itu.
Setibanya di sebuah gubuk tempat kakek dolah tinggal (menurut penuturan warga). Salam pun aku lepaskan, satu kali tidak ada yang menyahut, dua kali tetap tidak ada yang menyahut, tiga kali salam aku lepaskan tetap saja tidak ada yang menyahut. Aku berfikir bahwa tidak ada orang di dalam gubuk, aku juga berniat untuk balik pulang. Sebelum pulang, aku menyempatkan diri untuk melihat-lihat lingkungan sekitarnya. Setelah puas melihat-lihat disekitar lokasi tersebut, dan hendak beranjak pulang, Aku melihat seseok lelaki yang mirip dengan orang yang aku temui semalam. Ia menenteng sebuah parang dan seikat tumbuhan pakis, setelah ia melihatku ia tersenyum sembari melepaskan salam. Ia tidak bertanya apapun, ia langsung mempersilahkanku duduk di sebuah kursi kayu di depan gubuknya. Aku mengira kursi itu adalah buatannya sendiri dengan memanfaatkan bahan sekitar.
Aku pun duduk, cukup lama aku duduk menunggunya keluar. Entah apa yang dikerjakannya di dalam, mungkin lagi bersih-bersih, pikirku. Setelah beberapa lama, dia keluar membawa sebuah kendi dan dua buah batang bambu yang digunakan sebagai gelas. Segar betul airnya, rasa hausku hilang seketika.
Kakek dolah : “sudah lama di sini nak?” ujarnya membuka percakapan.
aku             : “tidak terlalu lama kek, kebetulan saya lewat dan melihat-lihat gubuk kakek”
Kakek dolah : begitu ya, tadi saya habis mencari pakis di hutan
aku             : iya kek, saya melihat tadi kakek membawa seikat pakis. Jadi lauk ya kek?
Kakek Dolah: iya, kebetulan lagi pengen makan pakis
aku             : kakek tinggal sama siapa di sini?
Kakek dolah : saya tinggal sendiri, anak-anak saya pergi merantau semua.
aku             : apa kakek pemilik kebun ini? maaf jika saya bertnya.
Kakek dolah : oh itu ya, tidak apa-apa. kebun ini bukan milik saya, saya hanya disuruh menjaga oleh yang punya.
aku             : sudah berapa lama kakek menjaga kebun ini?
Kakek dolah : ada 14an tahun kalau tidak salah, saya berpindah-pindah dari kebun yang satu ke kebun yang lain. Tergantung apa kata pemilik kebun saja.
aku             : wah.... pasti kebunnya banyak sekali ya.
Kakek dolah : begitulah nak.
aku             : begini kek, mengapa tadi malam kakek tidak mau masuk ke dalam masjid dan memilih duduk di luar, di sana kan ga ada tikar.
Kakek dolah : oh itu, saya kotor waktu itu baru pulang dari sawah. Nanti masjidnya bisa jadi kotor.
aku             : oh begitu kek, saya kira kakek tidak mau memasuki masjid.
Kakek dolah : itu juga betul nak, Saya terlalu kotor untuk memasuki Rumah Tuhan. Tubuh ini bagaikan seonggok bangkai yang belum suci.
aku             : maksud kakek bagaimana? Saya belum menangkap.
Kakek dolah : tidak perlu ditangkap nak, tidak usah dipikirkan.
aku             : “kakek keliru, justru aku semakin penasaran kek...” gumamku dalam hati.
Kakek dolah : sudah dulu ya nak Rian, tidak baik memelihara rasa penasaran di tengah perut yang sedang lapar. Ayo temani saya makan.
aku             : “nelen ludah. Kaget, terkejut. Pokoknya campur aduk deh. Kok dia bisa tau namaku padahal belum memperkenalkan diri, kok dia bisa tau rasa penasaranku, ahhh.....aku semakin penasaran” campur aduk pikiranku dalam hati.
Kakek dolah : tunggu sebentar ya.
Kakek itu pun masuk, kali ini dia masuk hanya sebentar. Rupanya tadi dia mempersiapkan lauk untuk makan siang kami. Aku menemaninya makan sembari membahas hal-hal ringan terkait desa. Setelah makan dan mengobrol ringan beberapa saat, aku pamit pulang karena harus menjemput Fatimah di Madrasah. Dia mengizinkan, sembari berkata, “Apakah rasa ingin tahu nak Rian sudah terjawab? kalau belum datanglah kembali esok”.
Sial, kata-kata itu semakin membuatku penasaran. Siapakah dia?
*Bersambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah sejak 1852 M

Jawa Timur.Santrionline - Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah merupakan Pesantren yang didirikan Mbah Busyro Al Khafi yang waktu mudanya belajar selama 17 tahun di Mekah. Pendiri Pesantren ini merupakan ayahnya Mbah Soleh yang mempunyai istri yang bernasab dengan Mbah Maimoen di Pesantren Al Anwar Sarang Rembang. Pesantren ini sudah mempunyai sekolah Formal, tapi tetap menjaga tradisi baca kitab turost dengan membangun Pesantren Kidul di sebelah selatan pesantren. Kiai Abdul Azis yang ditemui suarapesantren.net pada 29 Maret 2016 mengungkapkan bahwa dirinya meneruskan memimpin Pondok Kidul yang merupakan cabang dari Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah di Beji Jenu Tuban Jawa Timur. Pesantren yang terletak di jalur Pantura Tuban ini disebelah Barat yang juga disebut sebagai Pondok Kidul atau sebelah Selatan, sedang pusatnya di sebelah Utara. Dalam bangunan klasik yang terbuat dari kayu berpilar empat itu, tertulis tahun 1852 Masehi di mana tempat itu merupakan tempat penga

Perkawinan Dimata Gus Mus

Perkawinan itu pertemuan dua hal yang berbeda sekali. Ia tidak seperti perbedaan dua hal antar suku, atau antar Negara. Kedua yang terakhir ini lebih banyak jalan menjembataninya untuk bisa damai. Tetapi perbedaan dalam perkawinan adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Relasi suami isteri dalam rumah tangga tidak selalu indah, tidak selamanya membahagiakan, tidak selama damai. Selalu saja ada masa sulit, pertengkaran, percekcokan dan seterusnya. Menyelesaikannya tidak mudah, perlu hati-hati sekali. Paling-paling hanya tiga bulan saja masa-masa indah itu. Selebihnya bergelombang-gelombang. Orang bilang bahwa perempuan itu lemah, dan laki-laki itu kuat. Ini tak sepenuhnya benar, Kita coba saja laki-laki untuk membawa beras enam kilogram secara terus menerus, berjam-jam, berhari-hari dan berbulan-bulan. Satu atau dua jam mungkin bisa, tetapi terus menerus tanpa henti?. Apakah sanggup?. Saya kira tak ada. Laki-laki, suami, biasanya mengaku cepat lelah. Ia lebih suka duduk sambil

Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Ketika Didzalimi Dibalas Dengan Menyayangi

Keterangan foto: Yang sedang naik becak adalah al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang dan al-Habib Ali bin Husein Alattas Bungur Santrionline- Suemdang, Dahulu di masa al-Habib Ali al-Habsyi Kwitang masih hidup, ada seseorang yang sangat membencinya dan orang itu tinggal di Kwitang. Kelakuan orang itu terhadap al-Habib Ali al-Habsyi sunggah tidak terpuji. Bila lewat di hadapannya dengan sengaja meludah di depan al-Habib Ali al-Habsyi, sampai-sampai membuat marah para murid al-Habib Ali al-Ha bsyi. Hingga suatu saat, al-Habib Ali al-Habsyi memberikan jatah sembako berupa beras kepada orang itu. Dengan memanggil muridnya, al-Habib Ali al-Habsyi memerintahkan agar beras itu diberikan kepada orang itu. Hal ini membuat bertanya-tanya sang murid. Namun belum sempat ditanyakan, al-Habib Ali al-Habsyi berkata: “Berikan ini, tapi jangan bilang dari saya. Bilang saja dari kamu.” Lebih dari 2 tahun orang itu menikmati jatah sembako yang diberikan al-Habib Ali al-Habsyi kepadanya melalui p