Langsung ke konten utama

ULAMA TAREKAT DAN BELA NEGARA


ULAMA TAREKAT DAN BELA NEGARA

Sering kita dengar banyak orang yang salah dalam memahami arti bela negara. Kebanyakan mereka mengasumsikan bela negara dengan kewajiban militer. Rakyat diorganisir, dilatih, diberi seragam dan dipersiapkan untuk berperang melawan bangsa lain.

Bela negara masih diidentikan dengan tentara dan perang. Atau bela negara diartikan hanya sebatas melawan musuh, menjaga batas territorial, dan mewujudkan keamanan dan keselamatan seluruh warga negara saja. Pemahaman seperti itu tidak sepenuhnya salah. Memang itu juga bagian dari bela negara, atau bela negara dalam arti sempit.

Padahal arti bela negara itu sendiri sangat luas. Membangun ekonomi nasional itu termasuk bela negara. Memberantas narkoba juga bagian dari bela negara, karena narkoba merusak otak dan syaraf generasi muda, anak-anak bangsa. Bagaimana generasi yang akan datang bisa membangun negara kalau mereka dirusak mental dan otaknya.

Kita mencintai hasil karya produksi dalam negeri, hasil karya bumi pertiwi, kita tingkatkan buah-buahan Indonesia supaya setaraf dengan buah-buahan dari luar negeri, kita punya kefanatikan tidak memberikan income kepada orang lain, tapi kami berikan kepada saudara kami sebangsa terlebih dahulu, itu juga bagian dari bela Negara. Sangat luas.

Tidak harus dengan sesama Muslim, saling membantu dengan non-Muslim pun kita termasuk bela negara. Yang non-Muslim, meski mereka beda agama, tapi tetap saudara sebangsa dan setanah air. Kalau mereka sesama Muslim, berarti mereka saudara kita: saudara seagama, sebangsa dan setanah air.

Mereka –saudara yang non-Muslim- kalau sakit, kami pun berusaha merasakan itu sakit, karena mereka saudara sebangsa setanah air kami.

Nah, bagaimana kita menguntungkan perdagangan sebangsa setanah air kita dulu. Untuk apa, ya untuk negara dan bangsa ini. Kalau kita berpikir mengutamakan beli dari Malaysia dulu karena di sana mayoritas Muslim, oke. Tapi berilah keuntungan negara kami terlebih dahulu.

Meninggalkan korupsi termasuk bela negara. Dengan meninggalkan korupsi, kita sudah membantu masyarakat dan bangsa dalam meningkatkan kualitas kehidupan. Bela negara juga dapat dilakukan degan cara melindungi warga dari berbagai model pemikiran dan pemahaman yang menyebabkan timbulnya perpecahan, disintegrasi, pengkafiran dan pelanggaran terhadap hak orang lain. Sebab pemikiran yang melenceng punya kecenderungan untuk melakukan pengrusakan, penumpahan darah, perampasan harta dan merendahkan harkat kehormatan manusia yang lain.

Pemikiran dan pemahaman yang melenceng ini tidak kalah bahayanya dibandingkan dengan tentara asing yang merebut tanah air kita.

Arti bela negara memang sangatlah luas. Termasuk para kiai mendidik para santri untuk mempersiapkan mental generasi mendatang, para ulama tarekat melestarikan ajaran salafus shalih di tengah masyarakat, semua termasuk ke dalam bingkai bela negara. Pokoknya apa saja yang bernilai sumbangsih dalam membangun dan mengokohkan negara ini, termasuk bagian dari bela negara. Dan ini hukumnya wajib bagi setiap kita sebagai anak bangsa. 
 
Nasionalisme Ulama 

Jangan diragukan lagi nasionalisme para ulama. Mereka, terlebih ulama tarekat, sudah sangat jelas keberpihakannya pada negara ini. Bahwa mereka para ulama, para habaib, para mursyid, para kiai, secara lahir batin mencintai negara ini dengan setulus hati. Bukti-bukti sejarah tidak bisa dibantah lagi. Mereka tidak pernah bughat (memberontak). Justru mereka rela berkorban untuk negeri ini.

Bahkan diakui oleh Belanda, salah satu pilar utama kekuatan bangsa ini sehingga sulit ditaklukkan sepenuhnya adalah karena kuatnya ngaruh ulama tarekat di tengah masyarakat.

Perang besar di Surabaya pada 10 November 1945 - insya Allah - tidak akan terjadi sedahsyat itu dan rakyat tidak akan berani senekad itu, kalau tidak ada semangat perjuangan yang dikobarkan oleh para uiama lebih-lebih para ulama tarekat.

Para ulama yang memberi gemblengan batin untuk berani mati syahid adalah para pengamal tarekat Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai subchi Parakan yang ahli suwuk bambu runcing, Pangeran Diponegoro, adalah para pengamal tarekat. Bahkan Pangeran Diponegoro adalah seorang mursyid tarekat.

Kesetiaan para ulama tarekat pada Negara Kesatuan Republik Indonesia ini di era sekarang juga dapat dilihat dari keputusan mereka yang dikenal dengan Sembilan Konsensus Ulama Thariqah yang diputuskan di Pekalongan pada 16 Januari lalu. Betapa mereka sangat mencintai negeri ini.

Pada keputusan keempat misalnya, mereka meyakinl bahwa bela negara merupakan suatu kewajiban seluruh elemen bangsa sebagaimana dijelaskan al-Quran dan al- Hadits. Sedangkan keputusan ketujuh, mereka menolak adanya terorisme, radikalisme dan ekstremisme yang mengatasnamakan agama.

Para ulama tarekat menyadari, aksi terorisme, radikalisme dan ekstremisme yang mengatasnamakan agama, selain berpangkal pada keyakinan yang salah pada ajaran agama itu sendiri, seringkali juga disebabkan dari kepentingan dan hawa nafsu pribadi ataupun pimpinan kelompok mereka. Padahal ajaran agama itu sendiri adalah santun dan membawa kedamaian bagi umat dan alam semesta.

Pentingnya tanah air, dalam pandangan ulama tarekat, dapat kita lihat dari syair Iraq yang dibacakan oleh Habib Ali al-Bahar seusai pembacaan konsensus. "Kalau kita kehilangan emas, kita bisa mendapatkannya kembali di pasar emas. Kalau kita kehilangan kekasih, tahun depan kita bisa bertemu kekasih kembali. Tapi kalau kita kehilangan tanah air, di mana kita bisa mendapatkannya?"

Itulah sikap kita para ulama tarekat. Sampai kapan pun akan tetap setia kepada tanah air kita. Karena dengan adanya tanah air yang merdeka, kita bisa beribadah dengan bebas. Di atas tanah air ini pula kita dapat melakukan dakwah dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama'ah dengan damai. Kita benar-benar mencintai tanah air dan bangsa kita ini. Kalau ada pihak-pihak lain yang merugikan bangsa ini, tentu kita tidak akan tinggal diam. Semoga tulisan ini bermanfaat.

*Rais Am Jam'iyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah, dimuat di Majalah AULA, hal. 54-55, edisi Juli 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah sejak 1852 M

Jawa Timur.Santrionline - Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah merupakan Pesantren yang didirikan Mbah Busyro Al Khafi yang waktu mudanya belajar selama 17 tahun di Mekah. Pendiri Pesantren ini merupakan ayahnya Mbah Soleh yang mempunyai istri yang bernasab dengan Mbah Maimoen di Pesantren Al Anwar Sarang Rembang. Pesantren ini sudah mempunyai sekolah Formal, tapi tetap menjaga tradisi baca kitab turost dengan membangun Pesantren Kidul di sebelah selatan pesantren. Kiai Abdul Azis yang ditemui suarapesantren.net pada 29 Maret 2016 mengungkapkan bahwa dirinya meneruskan memimpin Pondok Kidul yang merupakan cabang dari Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah di Beji Jenu Tuban Jawa Timur. Pesantren yang terletak di jalur Pantura Tuban ini disebelah Barat yang juga disebut sebagai Pondok Kidul atau sebelah Selatan, sedang pusatnya di sebelah Utara. Dalam bangunan klasik yang terbuat dari kayu berpilar empat itu, tertulis tahun 1852 Masehi di mana tempat itu merupakan tempat penga

Perkawinan Dimata Gus Mus

Perkawinan itu pertemuan dua hal yang berbeda sekali. Ia tidak seperti perbedaan dua hal antar suku, atau antar Negara. Kedua yang terakhir ini lebih banyak jalan menjembataninya untuk bisa damai. Tetapi perbedaan dalam perkawinan adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Relasi suami isteri dalam rumah tangga tidak selalu indah, tidak selamanya membahagiakan, tidak selama damai. Selalu saja ada masa sulit, pertengkaran, percekcokan dan seterusnya. Menyelesaikannya tidak mudah, perlu hati-hati sekali. Paling-paling hanya tiga bulan saja masa-masa indah itu. Selebihnya bergelombang-gelombang. Orang bilang bahwa perempuan itu lemah, dan laki-laki itu kuat. Ini tak sepenuhnya benar, Kita coba saja laki-laki untuk membawa beras enam kilogram secara terus menerus, berjam-jam, berhari-hari dan berbulan-bulan. Satu atau dua jam mungkin bisa, tetapi terus menerus tanpa henti?. Apakah sanggup?. Saya kira tak ada. Laki-laki, suami, biasanya mengaku cepat lelah. Ia lebih suka duduk sambil

Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Ketika Didzalimi Dibalas Dengan Menyayangi

Keterangan foto: Yang sedang naik becak adalah al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang dan al-Habib Ali bin Husein Alattas Bungur Santrionline- Suemdang, Dahulu di masa al-Habib Ali al-Habsyi Kwitang masih hidup, ada seseorang yang sangat membencinya dan orang itu tinggal di Kwitang. Kelakuan orang itu terhadap al-Habib Ali al-Habsyi sunggah tidak terpuji. Bila lewat di hadapannya dengan sengaja meludah di depan al-Habib Ali al-Habsyi, sampai-sampai membuat marah para murid al-Habib Ali al-Ha bsyi. Hingga suatu saat, al-Habib Ali al-Habsyi memberikan jatah sembako berupa beras kepada orang itu. Dengan memanggil muridnya, al-Habib Ali al-Habsyi memerintahkan agar beras itu diberikan kepada orang itu. Hal ini membuat bertanya-tanya sang murid. Namun belum sempat ditanyakan, al-Habib Ali al-Habsyi berkata: “Berikan ini, tapi jangan bilang dari saya. Bilang saja dari kamu.” Lebih dari 2 tahun orang itu menikmati jatah sembako yang diberikan al-Habib Ali al-Habsyi kepadanya melalui p