Langsung ke konten utama

Raih Berkah Bisnis Tempe dengan Filosofi Dzikir

 

Kendati baru sekitar satu tahun merintis dari nol dalam usaha memproduksi tempe, kini Abdullah (bukan nama sebenarnya), seorang pemuda santri yang kedua orang tuanya telah tiada ini sudah bisa merekrut dua karyawan. Dengan dibantu dua orang tersebut, sekarang saban harinya pemuda kelahiran Temanggung 1985 ini sudah berani mengolah sedikitnya 50 kilogram kedelai untuk diproses menjadi tempe. Saat jumlah kedelai yang diolahnya baru lima kiloan di awal-awal membuka usaha dia mengerjakan sendiri semua proses kerja pembuatan tempenya itu, mulai dari belanja kedelai di pasar, mematangkan kedelai, meracik campuran ragi, hingga mendistribusikannya ke konsumen.

Munculnya inspirasi membuka usaha produksi tempe ini tidak ia peroleh dari pelatihan atau pembinaan dari suatu instansi tertentu, melainkan atas penemuan kesadarannya sendiri setelah beberapa tahun lamanya dirinya ditempa di perantauan dengan pekerjaan yang tidak pasti dan seringnya menjadi kuli bangunan. Meski tempo itu Abdullah senantiasa giat bekerja serabutan di Jakarta, dia merasa jiwanya gersang jika sepanjang tahun bekerja tanpa jeda, maka tiap bulan Ramadhan ia memanfaatkannya untuk libur bekerja, lalu sepanjang satu bulan itu ia pergunakan mengikuti ngaji pasaran di salah satu pesantren di daerah Cirebon. Saat menimba ilmu dalam momen bulan Ramadhan inilah dirinya acap mendapatkan nasihat dari kiainya supaya tahun berikutnya mencari pekerjaan di kampung halamannya saja, syukur-syukur bisa membuka suatu usaha di desanya.

Bagi alumni dari salah satu pondok pesantren di Kaliwungu Kendal ini usaha membuat tempe itu dapat disebut sebagai suatu karya juga. Oleh karena itu menurutnya dalam memproduksi tempe seyogiayanya tidak sebagaimana seorang tukang yang umumnya mekanis cara kerjanya. Melainkan perlu juga adanya penjiwaan laiknya sastrawan dalam menulis puisi atau novelnya.

"Yang dimaksud dengan penjiwaan ialah ketika mengolah dan memproses bahan mentah berupa kedelai ia niatkan bertasbih seraya membayangkan dirinya selaku khalifahnya Allah sedang menjalankan perintah mengelola ciptaan Tuhan. Berkarya membuat bahan-bahan yang masih mentah menjadi produk yang siap dinikmati orang merupakan manifestasi dari ungkapan tasbih. Berkarya dalam bidang apa saja perlu menghidupkan rasa seninya," tutur lajang yang kedua orang tuanya kini sudah tiada itu.

Yang kedua, lanjutnya,  setelah tasbih yaitu tahap tahlil. Esensi dari tahlil adalah mentauhidkan Allah. Bila diterapkan dalam konteks berkarya ialah setelah seseorang berusaha dengan maksimal menciptakan karyanya, hasil akhirnya dipasrahkan pada Allah juga. Artinya siap berhasil, siap pula gagal. Dengan demikian seorang pengusaha tidak mudah frustasi jika mengalami kegagalan, karena tugasnya berkarya sudah ia tunaikan, soal keberhasilan bukan wewenangnya tapi otoritasnya Tuhan. Dengan modal tauhid ini pula seseorang menjadi berani memulai dalam karya apa saja, dan tidak takut gagal.

"Yang ketiga istighfar. Yaitu mengevaluasi terhadap hasil produknya, membenahi kelemahahan-kelamahan dan kekurangan selama ini dan terus berusaha membuat produknya semakin baik kualitasnya dari waktu ke waktu. Itulah hakikat istighfar diterapkan dalam suatu usaha atau pekerjaan."

Bahkan, menurut Abdullah, dalam suatu usaha yang terpenting bukan seberapa banyak keuntungan yang dihasilkan dari produk karyanya. Melainkan proses seni dalam berkarya itu sendirilah yang terpenting. Dalam proses pembuatan tempe tersebut misalnya, selalu ia tanamkan dalam benaknya bahwa ia tidak semata sedang bekerja mencari uang, tetapi dalam rangka melayani bagi siapa pun orangnya yang membutuhkan tempe.

Dengan konsepsi macam itu, maka dia dalam membuat tempe berusaha menghasilkan produk yang bermutu, agar para konsumen maupun dirinya sama-sama mendapatkan manfaat. Karena produk yang jelek meskipun laku dijual namun membawa kerugian para pembelinya. Dia tidak hanya berharap tempenya laku, tapi sekaligus berharap dapat memuaskan pelanggannya. (M. Haromain/Mahbib)

*) Ditulis dari kisah nyata seorang wirausahawan muda yang nama dan fotonya tidak mau dipublikasikan

Kendati baru sekitar satu tahun merintis dari nol dalam usaha memproduksi tempe, kini Abdullah (bukan nama sebenarnya), seorang pemuda santri yang kedua orang tuanya telah tiada ini sudah bisa merekrut dua karyawan. Dengan dibantu dua orang tersebut, sekarang saban harinya pemuda kelahiran Temanggung 1985 ini sudah berani mengolah sedikitnya 50 kilogram kedelai untuk diproses menjadi tempe. Saat jumlah kedelai yang diolahnya baru lima kiloan di awal-awal membuka usaha dia mengerjakan sendiri semua proses kerja pembuatan tempenya itu, mulai dari belanja kedelai di pasar, mematangkan kedelai, meracik campuran ragi, hingga mendistribusikannya ke konsumen.

Munculnya inspirasi membuka usaha produksi tempe ini tidak ia peroleh dari pelatihan atau pembinaan dari suatu instansi tertentu, melainkan atas penemuan kesadarannya sendiri setelah beberapa tahun lamanya dirinya ditempa di perantauan dengan pekerjaan yang tidak pasti dan seringnya menjadi kuli bangunan. Meski tempo itu Abdullah senantiasa giat bekerja serabutan di Jakarta, dia merasa jiwanya gersang jika sepanjang tahun bekerja tanpa jeda, maka tiap bulan Ramadhan ia memanfaatkannya untuk libur bekerja, lalu sepanjang satu bulan itu ia pergunakan mengikuti ngaji pasaran di salah satu pesantren di daerah Cirebon. Saat menimba ilmu dalam momen bulan Ramadhan inilah dirinya acap mendapatkan nasihat dari kiainya supaya tahun berikutnya mencari pekerjaan di kampung halamannya saja, syukur-syukur bisa membuka suatu usaha di desanya.

Bagi alumni dari salah satu pondok pesantren di Kaliwungu Kendal ini usaha membuat tempe itu dapat disebut sebagai suatu karya juga. Oleh karena itu menurutnya dalam memproduksi tempe seyogiayanya tidak sebagaimana seorang tukang yang umumnya mekanis cara kerjanya. Melainkan perlu juga adanya penjiwaan laiknya sastrawan dalam menulis puisi atau novelnya.

"Yang dimaksud dengan penjiwaan ialah ketika mengolah dan memproses bahan mentah berupa kedelai ia niatkan bertasbih seraya membayangkan dirinya selaku khalifahnya Allah sedang menjalankan perintah mengelola ciptaan Tuhan. Berkarya membuat bahan-bahan yang masih mentah menjadi produk yang siap dinikmati orang merupakan manifestasi dari ungkapan tasbih. Berkarya dalam bidang apa saja perlu menghidupkan rasa seninya," tutur lajang yang kedua orang tuanya kini sudah tiada itu.

Yang kedua, lanjutnya,  setelah tasbih yaitu tahap tahlil. Esensi dari tahlil adalah mentauhidkan Allah. Bila diterapkan dalam konteks berkarya ialah setelah seseorang berusaha dengan maksimal menciptakan karyanya, hasil akhirnya dipasrahkan pada Allah juga. Artinya siap berhasil, siap pula gagal. Dengan demikian seorang pengusaha tidak mudah frustasi jika mengalami kegagalan, karena tugasnya berkarya sudah ia tunaikan, soal keberhasilan bukan wewenangnya tapi otoritasnya Tuhan. Dengan modal tauhid ini pula seseorang menjadi berani memulai dalam karya apa saja, dan tidak takut gagal.

"Yang ketiga istighfar. Yaitu mengevaluasi terhadap hasil produknya, membenahi kelemahahan-kelamahan dan kekurangan selama ini dan terus berusaha membuat produknya semakin baik kualitasnya dari waktu ke waktu. Itulah hakikat istighfar diterapkan dalam suatu usaha atau pekerjaan."

Bahkan, menurut Abdullah, dalam suatu usaha yang terpenting bukan seberapa banyak keuntungan yang dihasilkan dari produk karyanya. Melainkan proses seni dalam berkarya itu sendirilah yang terpenting. Dalam proses pembuatan tempe tersebut misalnya, selalu ia tanamkan dalam benaknya bahwa ia tidak semata sedang bekerja mencari uang, tetapi dalam rangka melayani bagi siapa pun orangnya yang membutuhkan tempe.

Dengan konsepsi macam itu, maka dia dalam membuat tempe berusaha menghasilkan produk yang bermutu, agar para konsumen maupun dirinya sama-sama mendapatkan manfaat. Karena produk yang jelek meskipun laku dijual namun membawa kerugian para pembelinya. Dia tidak hanya berharap tempenya laku, tapi sekaligus berharap dapat memuaskan pelanggannya. (M. Haromain)

*Ditulis dari kisah nyata seorang wirausahawan muda yang nama dan fotonya tidak mau dipublikasikan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...