Langsung ke konten utama

Antara Iman dan Akidah


Santrionline - Akidah itu doktrin, kredo, konsepsiketuhanan, atau rumusan teologi yang didapatkan dengan penalaran filosofis. Maka kita mengenal ada akidah Asy’ariyah, Maturidiyah, Mu’tazilah, Murji’ah, Khawarij, Mujassimah, dan lain-lain. Karena ia berkaitan dengan penalaran, maka ia memiliki argumentasi-filosofis. Akidah adalah konsepsi, maka ia tidak membutuhkan perjuangan berat untuk dicari, didalami, dimengerti.

Apakah akidah sama dengan iman? Akidah itu rumusan baku, tak berubah, cukup dinalar. Sementara iman itu naik-turun, bertambah-berkurang (yazid wa yanqush). Iman adalah rasa; spiritualitas. Iman tak bertempat di nalar. Iman menghuni jiwa. Iman itu dinamis, sedangkan akidah statis. Iman adalah keyakinan yang menggerakkan!

Maka kita janggal ketika menyebutiman Asy’ariyah, iman Mu’tazilah, iman Mujassimah. Yang lazim adalah akidah Asy’ariyah, akidah Mu’tazilah, akidah Mujassimah. Ukuran iman adalah keyakinan dalam hati, ikrar lisan, dan manifestasi amal lahiriah. Tidak demikian dengan akidah. Akidah adalah konsepsi teologis.Iman itu, dalam contoh tamsilnya, sebagaimana Ibrahim Khalilullah yang bertanya pada Tuhannya: “Rabbi arinî kaifa tuhyil-mawtâ, Tuhanku, perlihatkan padaku bagaimana Engkau menghidupkan yang mati!” Tuhan bertanya, “Awalam tu’min,Adakah kau belum beriman?” Ibrahim menjawab, “Balâ, walakin liyathmainna qalbî,ya, namun itu agar hatiku tenang.”Iman adalah urusan “percaya”, yang mendatangkan ketenangan hati dalam kepercayaan itu.

Kanjeng Nabi bersabda soal permintaan Ibrahim pada Tuhan itu: “Nahnu ahaqqu bisy-syakki min Ibrâhîm, kita lebih layak untukragu dibanding Ibrahim.”Iman adalah penyerahan “loyalitas” kepada Dia yang menciptakan hidupmu dan kamu memasrahkan hidup pada-Nya. Iman bukan sekedar percaya padarumusan teologis tertentu. Iman melampaui doktrin. Iman itu spiritualitas. Maka tanda iman adalah pengamalan, sedang akidah adalah penalaran.Naasnya, banyak orang membencisesama “manusia pencari Tuhan” hanya karena beda akidah.Banyak orang berkonflik hanya karena beda rumusan teologi. Padahal, jika mereka ditanya, apa guna bersengketa untuk urusan “apakah Tuhan punya sifat atau tidak?” “apakah sifat Tuhan itu melekat pada Dzat-Nya?” “apakah wahyu Tuhan itu memiliki bunyi dan huruf atau tidak?” belum tentu mereka tahu argumennya. Kalaupun tahu argumennya, lalu berdebat, tidak banyak yang kemudian mengikuti alirannya. Banyak orang berdebat atas nama“memurnikan” akidah, padahal mereka tak tahu “apa itu murni” dan “mengapa harus murni”.

Banyak orang mengatasnamakan Asy’ariyah, Maturidiyah, Mu’tazilah, Mujassimah, dan lain-lain, menghabiskan energi untuk berebut jalan keselamatan, tapi tidak tahu apa inti argumen aliran-aliran teologi itu. Banyak yang mengklaim jalan keselamatan satu-satunya hanya di alirannya semata-mata karena beda rumusan teologi. Yang disayangkan, bukan iman yang makin terasah, tapi musuh yang kian bertambah.Akidah kerap tak melahirkan amal.Manusia tidak termotivasi oleh akidah. Akidah lebih kerap membuat orang menegasikan manusia lainnya yang berbeda kepercayaan.

Maka carilah iman! Sebab imanlah yang melahirkan amal nyata; yang membasahi kegersangan jiwa.Iman itu seperti simbah-simbah didesa yang bisa lurus-istiqamah untuk adzan, pujian, iqamah, dan berjamaah subuh di mushola tiap hari, tanpa tahu soal apa itu akidah Asy’ariyah-Maturidiyah-Mu’tazilah-Mujassimah-dll. Iman itu adalah yang menggerakkan seseorang untuk tidak merampas hak milik orang lain. Iman itu adalah yang memotivasi seseorang untuk mau menyingkirkan bebatuan yang menghalangi jalan sebab dorongan nuraninya.

Bukankah yang demikian ini termasuk satu dari tujuh puluh cabang iman, sebagaimana disabdakan KanjengNabi, meski ia termasuk yang terendah?Iman adalah cahaya di hati yang menyambut naluri dasar manusia untuk merasakan kehadiran Tuhan. Iman adalah rasa: spirit yang mampu menghadirkan Tuhan di setiap tempat seseorangberada. Iman adalah keyakinan, ikrar, dan yang lebih penting dari itu adalah amal!

(Islami.co/ Irma Andriyana)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah sejak 1852 M

Jawa Timur.Santrionline - Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah merupakan Pesantren yang didirikan Mbah Busyro Al Khafi yang waktu mudanya belajar selama 17 tahun di Mekah. Pendiri Pesantren ini merupakan ayahnya Mbah Soleh yang mempunyai istri yang bernasab dengan Mbah Maimoen di Pesantren Al Anwar Sarang Rembang. Pesantren ini sudah mempunyai sekolah Formal, tapi tetap menjaga tradisi baca kitab turost dengan membangun Pesantren Kidul di sebelah selatan pesantren. Kiai Abdul Azis yang ditemui suarapesantren.net pada 29 Maret 2016 mengungkapkan bahwa dirinya meneruskan memimpin Pondok Kidul yang merupakan cabang dari Pesantren Mukhtariyyah As Syafiiyah di Beji Jenu Tuban Jawa Timur. Pesantren yang terletak di jalur Pantura Tuban ini disebelah Barat yang juga disebut sebagai Pondok Kidul atau sebelah Selatan, sedang pusatnya di sebelah Utara. Dalam bangunan klasik yang terbuat dari kayu berpilar empat itu, tertulis tahun 1852 Masehi di mana tempat itu merupakan tempat penga

Perkawinan Dimata Gus Mus

Perkawinan itu pertemuan dua hal yang berbeda sekali. Ia tidak seperti perbedaan dua hal antar suku, atau antar Negara. Kedua yang terakhir ini lebih banyak jalan menjembataninya untuk bisa damai. Tetapi perbedaan dalam perkawinan adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Relasi suami isteri dalam rumah tangga tidak selalu indah, tidak selamanya membahagiakan, tidak selama damai. Selalu saja ada masa sulit, pertengkaran, percekcokan dan seterusnya. Menyelesaikannya tidak mudah, perlu hati-hati sekali. Paling-paling hanya tiga bulan saja masa-masa indah itu. Selebihnya bergelombang-gelombang. Orang bilang bahwa perempuan itu lemah, dan laki-laki itu kuat. Ini tak sepenuhnya benar, Kita coba saja laki-laki untuk membawa beras enam kilogram secara terus menerus, berjam-jam, berhari-hari dan berbulan-bulan. Satu atau dua jam mungkin bisa, tetapi terus menerus tanpa henti?. Apakah sanggup?. Saya kira tak ada. Laki-laki, suami, biasanya mengaku cepat lelah. Ia lebih suka duduk sambil

Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Ketika Didzalimi Dibalas Dengan Menyayangi

Keterangan foto: Yang sedang naik becak adalah al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang dan al-Habib Ali bin Husein Alattas Bungur Santrionline- Suemdang, Dahulu di masa al-Habib Ali al-Habsyi Kwitang masih hidup, ada seseorang yang sangat membencinya dan orang itu tinggal di Kwitang. Kelakuan orang itu terhadap al-Habib Ali al-Habsyi sunggah tidak terpuji. Bila lewat di hadapannya dengan sengaja meludah di depan al-Habib Ali al-Habsyi, sampai-sampai membuat marah para murid al-Habib Ali al-Ha bsyi. Hingga suatu saat, al-Habib Ali al-Habsyi memberikan jatah sembako berupa beras kepada orang itu. Dengan memanggil muridnya, al-Habib Ali al-Habsyi memerintahkan agar beras itu diberikan kepada orang itu. Hal ini membuat bertanya-tanya sang murid. Namun belum sempat ditanyakan, al-Habib Ali al-Habsyi berkata: “Berikan ini, tapi jangan bilang dari saya. Bilang saja dari kamu.” Lebih dari 2 tahun orang itu menikmati jatah sembako yang diberikan al-Habib Ali al-Habsyi kepadanya melalui p