Langsung ke konten utama

Tutup Ngaji Pasaran, Santri Al-Karimiyah Diminta Jaga Akhlaq di Kampung Halaman


Subang, Santrionline - Setelah lebih dari dua pecan mengikuti pengajian pasaran, para santri Pesantren Al-Karimiyah yang tergabung dalam Himpunan Santri Pesantren Al-Karimiyyah (Hispa) menutupnya dengan kegiatan Hispa Bershalawat dan buka puasa bersama di halaman pesantren setempat yang berlokasi di Kampung Pungangan, Desa Rancabango, Patokbeusi, Subang, Jum'at (24/6).

Dalam kegiatan itu para santri menampilkan tim hadrah dan membawakan lagu-lagu shalawat, saat tim hadrah tengah manggung, para santri lainnya yang ada di bawah panggung menjadi penonton serta mengibarkan bendera merah putih, NU dan juga Pagarnusa.

Ketua Hispa Wisnu Nugraha mengatakan, kegiatan Hispa Bershalawat ini merupakan momentum perpisahan sementara, karena mulai esok pagi para santri yang berjumlah lebih dari 150 orang itu sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumahnya masing-masing.

"Besok mereka akan pulang, tapi setelah lebaran mereka ke sini lagi untuk mengikuti pelajaran seperti biasanya," tambah Mahasiswa Mifda Subang itu.

Mengenai bendera yang dikibarkan saat tim hadrah bershalawat, Wisnu menjelaskan bahwa bendera merah putih dibeli sendiri oleh para santri. Sementara untuk bendera NU dan Pagarnusa Wisnu berkelakar bahwa bendera itu didapat dari kegiatan-kegiatan NU.

"Kalau bendera NU dan Pagarnusa, anak-anak mengamankannya seusai acara NU," seloroh Wisnu, santri asal Karawang.

Usai digelar 'Hispa Bershalawat', Pengasuh Pesantren Al-Karimiyah Kiai Thala'albadar Karim memberi amanat kepada para santri untuk tetap menjaga akhlakul karimah saat berada di rumah.

"Kalian nanti ketika di rumah ketemu sama orang tua, sesepuh, orang yang lebih tua harus cium tangan dan bilang, 'Doakan saya semoga jadi anak saleh, doakan saya, doakan saya,'" tambah Ketua MWCNU Patokbeusi itu.

Selain itu, Kiai yang akrab disapa Kang Toto itu memberikan hadiah tasbih kepada santri yang mengkhatamkan Al-Quran paling banyak. Tasbih itu kemudian didapatkan oleh Siti Khoeriyah dan Widi Baeti yang telah mengkhatamkan Al-Quran sebanyak tiga kali.

(NUonline/ Irma Andriyana)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...