Langsung ke konten utama

Nafas Ramadhan Bersama PCINU di Korea Selatan

Nafas Ramadhan Bersama PCINU di Korea Selatan

Seoul, 26 Jan 2016.

Gema Ramadhan tidak hanya terasa di Indonesia melainkan juga di Korea Selatan. Beberapa Musholla dan Masjid di seluruh Korea Selatan berlomba untuk menggelar pengajian dan juga buka bersama. Tidak sedikit diantaranya yang mendatangkan pemateri atau para ustadz dari Indonesia untuk menyampaikan kajian-kajian keagamaan serta menjadi imam shalat tarawih.

Beda Indonesia beda pula Korea Selatan. Jika di Indonesia sangat mudah ditemukan Masjid dan Musholla permanen, maka di Korea Selatan hanya ada sekitar 8 Masjid yang sudah permanen, adapun selebihnya adalah non permanen, yaitu bangunan yang sengaja dikontrak oleh WNI ataupun muslim lainnya untuk dijadikan sebagai Musholla maupun Masjid.

Kaum muslimin dari berbagai negara terlihat sangat kompak dalam ukhuwwah islamiyah. Hampir di seluruh Masjid dan Musholla yang tersebar di seluruh Korea Selatan bisa dikatakan penuh, terlebih yang letaknya di komplek perindustrian. Hanya saja sebagian besar didominasi oleh jama'ah lelaki karena mayoritas kaum muslimin pendatang adalah lelaki. Hal ini tidak lain karena para pendatang tersebut adalah pekerja yang menyebar di berbagai sektor perindustrian.

Meriahnya Ramadhan juga dirasakan oleh warga Nahdliyin  Korea Selatan yang tergabung dalam PCINU (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama) Korea Selatan. Pada Ramadhan kali ini PCINU Korsel mendatangkan empat ustadz dari Indonesia yang sengaja diundang untuk menjadi imam tarawih dan menyampaikan materi keagamaan ‘ala ahlus sunnah wa al jama'ah.

"Alhamdulillah tahun ini ada empat ustadz dari Indonesia yang berkenan untuk mengisi Ramadhan di Korea, kami dari PCINU Korsel berharap semoga kaum muslimin di Korsel bias beristifadah mengisi Ramadhannya dengan penuh ketaqwaan dan juga bisa menimba ilmu agama yang santun dan rahmatan lil alamin ‘ala islam nusantara, islam yang ramah bukan islam yang suka marah" begitu seperti yang disampaikan oleh Ketua Tanfidz PCINU Korsel, Zaenal Abidin atau yang akrab disapa Kang Zaen.

Perjaka kelahiran Jawa Timur ini menuturkan bahwa kebutuhan akan pemateri keagamaan sangatlah primer bagi kaum muslimin di Korsel khususnya warga nahdliyin. Hal ini mengingat betapa bebasnya kehidupan di Korsel dan juga minimnya pemeluk agama islam.

Perkuat Keimanan, PCINU Korsel Hidupkan Ziarah Kubur.

Meskipun mayoritas penduduk Korsel tidak beragama islam tetapi ada juga perkuburan islam yang letaknya lumayan jauh, sekitar 230 Km dari ibu kota. Tetapi karena arus lalu lintas dan juga sarana transportasi di negara Ginseng ini sangat bagus, maka jarak sejauh itu bisa ditempuh dengan waktu yang singkat.

Ada sekitar tiga WNI muslim dikuburkan di pemakaman yang tanahnya dibeli atas dana wakaf dari sebuah negara di wilayah teluk ini. Satu diantaranya adalah WNI asal Malang Jawa Timur yang merupakan sahabat dari Mustasyar PCINU Korsel.

"Kita ini hambanya Allah SWT, ummatnya Kanjeng Nabi, Warga Nahdliyin… Dimanapun kita berada harus menjalankan ajarannya Rasulullah SAW dan jangan sampai lupa bahwa kita nanti akan kembali kepada Allah SWT… Ziarah kubur ini mengingatkan kita akan hal tersebut"  begitu seperti yang disampaikan oleh Bapak Ulin Huda atau yang akrab disapa Gus Ulin, Khatib PCINU Korsel.

Perkuburan muslim di Korsel ini selain letaknya jauh dari perkotaan juga berada di daerah pegunungan. Membutuhkan tenaga dan juga kendaraan yang prima untuk mencapai ke puncak lokasinya. Meskipun demikian, PCINU Korsel sudah menjadikannya sebagai acara rutin tahunan.

Untuk ziarah kubur PCINU Korsel Ramadhan kali ini diikuti oleh beberapa pengurus harian, Lazisnu, Banser dan juga seorang ustadz dari Indonesia. "Insyallah di kesempatan berikutnya kita akan mengajak nahdliyin yang lebih banyak" sambung Budi, Aktifis NU Korsel, yang akrab disapa Kang Budi.

(Redaksi PCINU Korsel)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...