Langsung ke konten utama

Ini Penjelasan KH Ahsin Sakho tentang Lailatul Qadar



Malam 21 Ramadhan 1437 H, langit di Kecamatan Bojongsari Kota Depok terlihat gelap. Hujan rintik-rintik. “Berarti malam ini tidak ada lailatul qadar,” kata KH Ahsin Sakho Muhammad, Sabtu (25/6) malam, mengawali ceramahnya pada peringatan Nuzulul Qur’an di Masjid Puri Bali, Depok.

Menurut Rais Majelis Ilmi Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadzh Nahdlatul Ulama itu, salah satu ciri datangnya malam lailatul qadar atau malam seribu bulan, menurut para ulama, adalah suatu malam dengan cuacanya yang cerah dengan anginnya yang semilir.

Apa itu malam lailatul qadar dan mengapa umat Nabi Muhammad SAW diberikan keistimewaan berupa malam seribu bulan itu?

Pertama-tama KH Ahsin Sakho menjelaskan bahwa istilah seribu bulan untuk malam lailatul qadar yang disebutkan dalam surat Al-Qadar (97): 3, tidak sekedar angka 1000 atau angka satu dengan tiga nol di belakangnya. Orang-orang Arab biasa menggunakan istilah seribu (alfun) sebagai angka yang besar dan luar biasa banyaknya, sama seperti orang orang Indonesia mengatakan “seribu candi”.

Bahwa malam lailatul qadar itu lebih utama dari pada seribu bulan, maksudnya adalah malam itu mempunyai keutamaan yang berlipat-lipat dibandingkan dengan malam-malam lain dan tidak harus kita hitung atau kita tuliskan dalam angka-angka kuantitatif.

Menurut guru besar Ilmu Al-Qur’an itu, adanya malam lailatul qadar adalah jasa dari Nabi Muhammad SAW. Beliau senantiasa menginginkan umatnya mendapatkan nilai lebih meskipun hanya menjalankan amal ibadah yang sedikit. Seperti shalat wajib lima waktu yang asalnya sebanyak limapuluh waktu. Nabi meminta keringanan agar umatnya menjalankan kewajiban shalat lima waktu saja dengan keutamaan yang sama. Seperti itulah malam lailatul qadar.

Namun malam lailatul qadar ini tidak untuk semua orang. Malam ini khusus bagi umat Islam yang pada malam itu ia berada dalam keadaan terjaga dan ia sedang menjalankan ibadah kepada Allah SWT.

Kapan tepatnya malam lailatul qadar memang tidak disebutkan secara pasti, agar umat Islam tidak pragmatis; tidak serta merta hanya menjalankan ibadah dengan mengincar satu malam itu saja. Namun para ulama memberikan ancang-ancang, malam lailatul qadar jatuh pada malam ganjil pada sepertiga malam terakhir di bulan Ramadhan, yakni pada malam 21, 23, 25, 27 dan 29, lalau disertai ciri-ciri atau gambaran suasana malam yang cerah.

Salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan bagi aumat Islam agar mendapat lailatul qadar adalah i’tikaf, yakni berdiam diri di masjid walaupun hanya sejenak. “Saya niat menjalankan i’tikaf hanya semata-mata karena Allah.”

Betapa mulianya jika sepanjang malam kita beri’ikaf di masjid sampai datangnya waktu sahur kemudian menjalankan shalat subuh. Namun manusia selalu mengajukan penawaran-penawaran baik karena alasan mengantuk, kesibukan kerja esok hari dan segala macamnya.

Kata KH Ahsin Sakho, jika tidak bisa beri’tikaf sepanjang malam, maka pastikan bahwa kita menjalankan shalat Isya’ dan tarawih secara berjamaan, kemudian selepas sahur juga berjamaah shalat subuh di masjid. Menurut riwayat para ulama, siapa saja yang berjamaah isya’ maka ia menghabiskan separuh malam, dan jika ia menutup malam dengan menjalankan shalat subuh berjamaah di masjid maka ia menyepurnakan separuh malam yang lain.

Bacaan yang paling utama untuk menyambut malam lailatul qadar, baik pada saat melakukan i’tikaf di masjid maupun sedang  berada di rumah adalah membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Peristiwa lailatul qadar itu sendiri juga sebenarnya terkait dengan moment turunnya Al-Qur’an dari lauh mahfudz ke langit dunia.

Nabi Muhammad SAW juga sangat berbahagia karena pada bulan Ramadhan beliau dapat berinteraksi langsung dengan Malaikat Jibril, melafalkan Al-Qur’an secara bergantian. Mungkin seperti itulah kebahagiaan kita pada saat melakukan tadarrus Al-Qur’an bersama rekan-rekan di masjid kita setiap malam Ramadhan, terutama di malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Semoga!





NU ONLINE

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...