Langsung ke konten utama

Ini Cara Rasulullah SAW Temukan Lailatul Qadar



Sudah separuh lebih ibadah puasa kita lalui. Itu artinya sebentar lagi bulan Ramadhan akan meninggalkan kita. Belum tentu di tahun berikutnya, kita mendapati kesempatan yang sama, yaitu mengerjakan puasa di siang hari dan diberi kesehatan untuk menyemarakkan malamnya dengan beribadah. Karenanya, gunakanlah sisa waktu Ramadhan ini dengan sebaik mungkin. Perbanyaklah ibadah dan amal saleh.

Menjelang akhir Ramadhan, Rasulullah SAW biasanya lebih fokus beribadah, terutama sepuluh malam terakhir. Hal ini sebagaimana yang disebutkan ‘Aisyah,

كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر شد مئزره وأحيا ليله وأيقظ أهله

Artinya, “Nabi Muhammad SAW ketika memasuki sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan memilih fokus beribadah, mengisi malamnya dengan dengan ibadah, dan membangunkan keluarganya untuk ikut beribadah,” (HR Al-Bukhari).

Berdasarkan hadits ini, dapat disimpulkan bahwa sepuluh malam terakhir Ramadhan merupakan waktu yang terbaik untuk beribadah. Sebagian ulama mengatakan, Rasulullah SAW meningkatkan kesungguhannya beribadah pada sepuluh malam terakhir dibandingkan malam sebelumnya.

Menurut Ibnu Bathal, hadits ini menginformasikan kepada kita bahwa malam lailatul qadar terdapat pada sepuluh malam terkahir Ramadhan. Karenanya, Rasulullah SAW lebih fokus beribadah pada malam tersebut dan menganjurkan umatnya untuk melanggengkan ibadah di malam sepuluh terakhir.

Karena kita tidak tahu secara pasti kapan terjadinya malam lailatul qadar, usahakan setiap malam di sepuluh terakhir diisi dengan memperbanyak ibadah. Usahakan tidak ada satu malam pun yang tidak dihiasi dengan ibadah, supaya malam lailatul qadar tidak terlewatkan. Semoga kita diberi kesempatan untuk bertemu dengan malam terbaik itu. Wallahu a’lam.

NU online

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Cadar: Produk Islam atau Adat Arab ???

Apakah menggunakan niqab/  cadar  merupakan sebuah bentuk ibadah atau hanya sebuah adat/ kebiasaan? Jawaban: Berdasarkan pendapat mayoritas ulama, menggunakan niqab/  cadar merupakan sebuah adat atau kebiasaan bukan bagian dari tuntutan agama. Ini didasari dengan fakta bahwa wajah perempuan bukan bagian dari aurat (bagian dari badan yang tidak boleh terlihat oleh orang yang bukan mahram). Ini merupakan pendapat dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, imam Ahmad bin Hanbal dan murid-m uridnya, Imam Auza'i, dan Abu Thaur. Sebelum-sebelum mereka, pendapat ini juga sesuai dengan pendapat dari para sahabat, Umar dan Ibnu Abbas r.a., Ata', Ikrima, Sa'id bin Jubair, Abu ash-Sha'tha', ad-Dahhaq, Ibrahim an-Nakh'i, dan banyak lainnya. Dasar dari pendapat mereka adalah: ●Hadis dari Aisyah, ummul mukminin (radhiyallahu 'anha) mengatakan bahwa suatu ketika Asma' bint Abu Bakar memasuki rumah Rasulullah Saw dengan menggunakan pakaian yang transparan/ tembus pandang, Ras...