Santrionline.net Seorang tokoh pesantren muda di Kediri mendapat penghormatan membahas penyelesaian konflik dengan para pemuka agama dari berbagai negara. Forum ini digagas Drew University, perguruan tinggi di New Jersey, Amerika Serikat, yang berfokus pada pendidikan agama, budaya, dan konflik.
Dia adalah Reza Ahmad Zahid, pengasuh Pondok Pesantren Al Mahrusyiah Lirboyo, Kediri. Putra pertama almarhum KH Imam Yahya Mahrus ini dikenal kritis dalam pemikiran Islam, terutama menyangkut pondok pesantren. Karena itu, meski masih berusia 36 tahun, dia dipercaya menjadi Ketua Robithoh Ma’had Islamiyah (RMI), sebuah asosiasi pengasuh pondok pesantren Jawa Timur.
Dalam undangan yang ditandatangani Direktur Seni Liberal Drew University Christopher S. Taylor dan Direktur Perbandingan Agama Jonathan Golden, Gus Reza diminta menjadi peserta aktif grup diskusi penyelesaian konflik antaragama yang melibatkan para pemuka agama dari berbagai negara.
Selain pemuka agama Islam, pemuka agama Kristen dan Yahudi turut dalam pembahasan itu. Mereka berasal dari Pakistan, Israel, Arab, dan Nigeria. “Saya perwakilan muslim dari Indonesia,” kata Gus Reza kepada Tempo, Selasa, 12 April 2016.
Tak sekadar berdiskusi, tapi forum yang berlangsung selama tiga minggu mulai 10 Juli 2016 itu juga merumuskan resolusi penyelesaian konflik antaragama yang kerap terjadi di berbagai belahan dunia. Diharapkan resolusi itu akan berkontribusi pada pencegahan dan penanggulangan konflik antaragama yang tak berkesudahan.
Di kalangan Nahdlatul Ulama, khususnya pesantren Tanah Air, Reza Ahmad Zahid merupakan kader yang cerdas. Riwayat pendidikan strata satu dan strata dua yang ditempuh di Yaman dan Turki, disusul program doktor di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, menjadi modal Gus Reza membawa pengelolaan pondok pesantren di Jawa Timur lebih modern. “Pesantren harus tangguh menjawab tantangan zaman yang terus berkembang,” katanya.
Dia mengakui jika perjuangan mengangkat harkat dan martabat pesantren tak semudah membalik telapak tangan. Minimnya akses informasi yang masuk ke pondok, terutama yang bermukim di kawasan pinggiran, menjadi faktor penghambat modernisasi pondok. Hal ini secara langsung berdampak pada menurunnya minat orang tua untuk menyekolahkan anak mereka ke pondok. “Ini yang mendasari kami membuat program pondok sehat dan gerakan nasional ‘Ayo Mondok’ yang diadopsi PBNU,” katanya.
(Tempo-Isa Anshori)
Komentar
Posting Komentar