Langsung ke konten utama

Kisah KH. Ali Mustofa Ya'kub Ribuan Kali Cium Tangan Gus Dur

Santrionline ~ Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA: “Bukan Cuma dua kali kami mencium tangan Gus Dur, tetapi ribuan kali... Dan apapun yang terjadi pada diri Gus Dur, baik beliau menjadi Presiden maupun rakyat biasa, beliau adalah tetap guru kami dan kami adalah santri atau murid beliau yang akan selalu menghormati beliau, meskipun kami tidak selamanya sependapat dengan beliau.”
***
Seorang Kawan bertanya kepada Kiai Ali Mustafa Yaqub:

“Pada waktu rombongan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menghadap Presiden Soeharto, Ustadz menganjurkan agar nanti waktu bersalaman dengan Pak Harto, para ulama tidak membungkuk atau menundukkan kepala. Ternyata ketika berjabat dengan Gus Dur, Ustadz bukan saja membungkuk, tetapi justeru mencium tangan Gus Dur. Ini membuktikan bahwa Ustadz tidak konsisten terhadap pendapat Ustadz. Bagaimana hal ini bisa terjadi?”

Kiai Ali Mustafa Ya’qub:
“Benar sekali yang anda sebutkan itu. Pada waktu MUI menghadap Pak Harto, kami memang punya sikap seperti itu. Sikap itu kami ambil dari keterangan Imam Nawawi dalam kitabnya, Al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an, dimana beliau menuturkan bahwa di antara adab para ulama dan pengajar al-Qur’an itu adalah tidak boleh menghinakan diri dan ilmunya.
Bagi kami, Presiden itu adalah simbol kepemimpinan dunia, sedangkan ulama merupakan simbol kepemimpinan agama atau akhirat. Pimpinan agama tidak boleh merendahkan dirinya di hadapan pimpinan dunia, karena hal ini berarti merendahkan agama itu sendiri. Bahkan ada sebuah hadis menuturkan (yang artinya) “Seburuk-buruk umatku adalah ulama yang sering mendatangi penguasa” (HR. Ibn Majah).

Itulah pendapat kami tentang sikap yang harus dimiliki oleh ulama terhadap para penguasa. Meskipun dengan catatan bahwa hal itu tidak berarti meninggalkan sikap tawadhu. Ulama di hadapan penguasa tidak boleh menghinakan dirinya, tetapi harus tetap tawadhu. Sementara penguasa yang kami maksud itu bukanlah penguasa yang sekaligus ulama, yang pada waktu itu adalah Presiden Soeharto.

Karenanya, khusus untuk Gus Dur, beliau itu adalah ulama sebelum menjadi presiden. Apalagi khusus untuk kami, Gus Dur itu adalah guru kami. Kami menjadi murid beliau sejak tahun 1971. Kami belajar Bahasa Arab dan mengaji kitab Qatr al-Nada dari beliau.”

Kawan:
“Tetapi ustadz mencium tangan Gus Dur sampai dua kali. Begitu kami melihat di layar televisi. Apakah ini tidak berlebihan?”

Kiai Ali Mustafa Yaqub:

“Bukan Cuma dua kali kami mencium tangan Gus Dur, tetapi ribuan kali. Setiap kami bertemu beliau, sejak pertama kali kami bertemu beliau di Tebuireng tahun 1971, kami selalu mencium tangan beliau.

Tentang mencium tangan dua kali dalam acara malam itu, baiklah kami jelaskan, bahwa mencium tangan yang pertama itu atas inisiatif kami sendiri. Rasanya tidak etis, beliau itu guru kami, kami duduk dalam satu majelis dengan beliau, kemudian kami tidak menyalami beliau. Sementara beliau tahu bahwa kami ada di majelis itu. Sedangkan untuk mencium tangan yang kedua, karena kami dipanggil oleh beliau, beliau mau menanyakan sebuah istilah yang kami sebutkan dalam ceramah tadi. Dan apapun yang terjadi pada diri Gus Dur, baik beliau menjadi Presiden maupun rakyat biasa, beliau adalah tetap guru kami dan kami adalah santri atau murid beliau yang akan selalu menghormati beliau, meskipun kami tidak selamanya sependapat dengan beliau. Dan bagi kami, hal ini tidak menjadi masalah karena para ulama dulu tidak selamnya sependapat dengan gurunya. Sebut saja misalnya, Imam Ahmad bin Hanbal, beliau adalah murid Imam Syafi’i. Namun dalam berijtihad, Imam Ahmad bin Hanbal tidak selamanya sama dengan Imam Syafi’i. Bahkan kemudian Imam Ahmad bin Hanbal memiliki madzhab sendiri dalam bidang fiqh.”

Kawan:
“Dalam amanatnya, Gus Dur menyebut-nyebut Ustadz sebagai adik dalam pemikiran. Apa maksud beliau, karena ada yang menuduh selama ini beliau berpikiran sekuler. Apakah Ustadz juga adik dalam pemikiran sekuler?”

Kiai Ali Mustafa Yaqub:

“Sebenarnya beliau telah menjelaskan sendiri apa yang beliau maksud dengan adik dalam pemikiran itu. Beliau itu adalah murid dari Pro. Dr. Muhammad Musthafa Azami, seorang pakar Ilmu Hadis masa kini, kelahiran India. Beliau tampaknya juga mengagumi Azami. Beliaulah orang yang pertama kali memperkenalkan nama Azami di Indonesia, yaitu dalam acara Dies Natalis Universitas Hasyim Asy’ari di Tebuireng Jombang, pada tahun 1972.

Beliau menyampaikan ceramah Dies Natalis dengan judul Sumbangan MM Azami dalam Penyelidikan Hadis. Acara Dies Natalis itu dihadiri oleh para pakar, para ulama, dan dua orang menteri waktu itu, yaitu Menteri Agama H. A. Mukti Ali dan Menteri Penerangan H. Budiarjo. Sementara kami sendiri waktu itu masih sebagai mahasiswa Fakultas Syari’ah Universitas Hasyim Asy’ari.

Ketika kami pulang dari belajar di Saudi Arabia pada tahun 1985, kami menemui Gus Dur di kantor PBNU. Kami ceritakan tentang hubungan kami dengan Prof. Dr. MM Azami, termasuk amanat beliau kepada kami untuk menerjemahkan kitab-kitabnya. Gus Dur sangat tertarik terhadap apa yang kami sampaikan, bahkan beliau punya keinginan untuk mengundang Prof. Dr. MM Azami suatu saat ke Indonesia. Gus Dur juga bercerita tentang ceramah Dies Natalis beliau tahun 1972 itu yang menurut beliau, “orang-orang nggak nyambung.”

Itulah hubungan kami dengan Gus Dur yang beliau sebut sebagai adik dalam pemikiran, yaitu pemikiran Ilmu Hadis, bukan pemikiran yang lain.”

(Muslimedianews/ Irma Andriyana)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pon Pes Attauhidiyyah Tegal

Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Lokasinya yang berada di ketinggian, tepatnya di bawah kaki Gunung Slamet, tak jauh dari kawasan wisata Guci, bertemperatur udara yang cukup dingin. Untuk menuju lokasi pesantren tersebut, kita harus melalui jalan yang menanjak, berkelok, melintasi ladang tebu, persawahan, dan pepohonan yang rindang. Bulan juni kemaren Ponpes Attauhidiyyah dipilih sebagai tempat kegiatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se – Indonesia ke V, sejak 7-10 Juni 2015. Melihat fisik bangunan Ponpes yang dipimpin oleh KH. Ahmad Saidi, terlihat pembangunannya yang sedang dalam proses penyelesaian, terutama asrama santri dan masjid. Pondok Pesantren At Tauhidiyah didirikan terbilang ponpes tertua di Tegal. Pon Pes Attauhidiyyah Didirikan oleh KH. Armia pada tahun 1880, di desa Cikura, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Desa Cikura yang konon awalnya bernama desa Pemulia...

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yan...

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa Ramadhan yang tak Terlupakan

Terbunuhnya Sayyidina Ali Oleh Ibnu Muljam, Peristiwa 7 Ramadhan yang tak Terlupakan   Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.” Teriakan itu menggema ketika Abdurrahman bin Muljam Al Murodi menebas leher sahabat Ali bin Abi Thalib, karomallahu wajhah. Subuh 7 Ramadhan itu duka menyelimuti hati kaum muslimin. Nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang saudara sesama muslim. Ali terbunuh atas nama hukum Allah dan demi surga yang entah kelak akan menjadi milik siapa. Tidak berhenti sampai di sana, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti merapal Surat Al Baqarah ayat 207: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ ...